Saturday, May 16, 2009

Tiga (Pasang) Menguak Takdir

Usai sudah episode pertama dari rangkaian megasinetron politik pemilu presiden yang akan berlangsung 8 Juli nanti. Tiga pasang capres dan cawapres sudah memasuki arena pertarungan yang digelar oleh KPU, pada Sabtu (16/5) siang. Mudah-mudahan persiapan pemilu presiden tahun ini cukup baik dan matang, dan tidak seperti ketika pemilu legislatif digelar yang banyak mengundang makian dan hujatan. Banyak kalangan khawatir jika pemilu presiden kualitasnya sama dengan pemilu legislatif, bahkan lebih buruk, maka Indonesia bisa terjebak dalam pusaran arus krisis politik seperti yang dialami Thailand.

Kita tentu sulit meramalkan siapa yang akan menjadi pemenang. Bendera start tanda pertarungan akan dimulai, belum lagi dikibarkan. Namun, kita mungkin sudah tahu kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing pasang capres dan cawapres. Lewat internet, rekam jejak ketiga pasang ini sangat mudah diakses oleh publik. Walaupun data itu mungkin harus divalidasi terlebih dahulu. Berbagai polling dan survei juga telah digelar. Hasilnya pun sudah dipublikasi lewat media massa. Ada pasangan yang menang survei di lembaga tertentu, pasangan lainnya menang polling di institut riset anu. Mengenai hasil survei dan polling ini, Susilo Bambang Yudoyono, dalam pernyataannya sebelum mendaftarkan diri sebagai pasangan capres dari partai Demokat dan koalisinya, menyayangkan jika pada tahapan pemilu presiden nanti ada lembaga tertentu yang melakukan survei dengan hasil yang sudah dipesan terlebih dahulu. Kita tahu kekecewaan yang sama juga pernah disampaikan oleh Megawati Kiemas sesaat sebelum pemilu legislatif berlangsung.

Yang bisa disimpulkan dari semuanya adalah; kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh tiga pasang capres dan cawapres ini masih fluktuatif. Tidak ada yang dominan, semua masih relatif. Serba nisbi. Jadi, jika saat ini anda bukan seorang politisi namun sudah memiliki keyakinan terhadap pasangan tertentu dan memasang uang taruhan yang sangat besar untuk kemenangan pasangan itu, saya berharap dewi keberuntungan sedang menyukai anda sehingga anda bisa memenangi uang taruhan itu.

Katakanlah anda adalah seorang penggemar fanatik JK-Win, pasangan yang pertama mendaftarkan diri ke KPU secara resmi. Apakah anda masih optimis pasangan ini mampu memenuhi impian anda sebagai presiden periode mendatang, jika mengingat biduk Partai Golkar sempat terpecah dalam kepingan yang menginginkan partai mereka sebagai partai pemerintah dan kepingan lain sebagai partai oposisi. Saya ingat dalam salah satu wawancara, fungsionaris Partai Golkar Yorrys Raweyai mengungkapkan, jika sejak kelahirannya Golkar tidak pernah menjadi partai oposisi. Itu artinya ada ambiguitas di dalam internal Partai Golkar. Kalaupun sekarang ambiguitas itu perlahan mulai menghilang, problem lain yang harus dihadapi Partai Golkar dalam pencapresan JK-Win kali ini adalah mesin politik partai tersebut. Kita tahu, dalam pemilihan kepala daerah kekuatan Golkar berada di bawah PDI Perjuangan, sementara pada pemilu legislatif partai berwarna kuning ini di bawah Partai Demokat.

Bagaimana dengan anda yang menggadang-gadang pasangan Mega-Bowo, sang kuda hitam? Saya katakan kuda hitam karena dari berbagai polling dan survei serta kalkulasi politik yang dilakukan secara sumir tak satupun yang bisa mengunggulkan pasangan ini dari pasangan lainnya. Jika para kader dan simpatisan PDIP dan Partai Gerindra ogah untuk bekerja keras, sekeras-kerasnya, sebagaimana amanat Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Kiemas, pada peresmian pasangan itu di kediamannya jalan Teuku Umar Jakarta, Jumat malam (15/5) maka sulit bagi pasangan ini untuk memenangkan hati rakyat.

Apakah itu berarti anda yang menjagokan SBY-Berbudi sudah bisa menepuk dada dan berkata kemenangan kami sudah di depan mata? Belum tentu juga. Pasangan ini harus membenahi persekutuan di antara mereka sendiri, karena koalisi setengah hati. Bahkan, ketika pasangan ini sudah datang ke KPU, dikabarkan jika salah satu pilar koalisinya Partai Amanat Nasional belum menandatangani kontrak perjanjian koalisi. Tidak hanya itu, kita tahu pemilu-pemilu di era reformasi telah menghasilkan anomali. Pemenang pemilu legislatif ternyata tidak serta merta bisa menjadikan kadernya sebagai Presiden Republik ini. Pemilu 1999 yang dimenangi PDI Perjuangan, menghasilkan Gus Dur sebagai presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa. Pemilu legislatif 2004 yang dimenangi Partai Golkar, juga idem. Presiden hasil pemilu di tahun yang sama adalah SBY-JK. Bagaimana dengan tahun 2009? Apakah Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu legislatif bisa menangkis kutukan partai pemenang pemilu legislatif pada dua pemilu sebelumnya pada pemilu tahun ini? Mari kita saksikan bersama tiga pasang capres-cawapres itu menguak takdir mereka sendiri.

Friday, May 15, 2009

Resan Air ke Air, Resan Minyak ke Minyak

Kalian tahu apa yang terjadi dengan keenam kawan kami yang memberanikan diri menjadi caleg dari sejumlah parpol pada pemilu kemarin hari? Mereka, seperti yang sudah diprediksi secara tersirat dalam tulisan sebelumnya (Baca: Caleg Gila dan Simple Plan), akhirnya rontok satu persatu. KPU tidak menyebut nama-nama keenam kawan kami itu ketika membacakan pengumuman penetapan perolehan kursi dari 9 parpol yang lolos parliamantary treshold. Begitu juga dengan kawan kami yang menjadi caleg partai pemenang pemilu legislatif 2009 ini (Partai Demokrat) untuk menduduki kursi DPRD Kabupaten Tangerang Banten ternyata setali tiga uang dengan yang lainnya. Padahal di tempat itu Demokrat bisa dibilang menang cukup telak. Tidak hanya itu. Sejumlah aktivis eksponen 98, 90-an, dan 80-an yang kami ketahui ikut mengundi peruntungan politik mereka pada pemilu legislatif tahun ini juga bernasib idem. Sama-sama apes. Sama-sama terpuruk.

Walau begitu, kami tetap menakzimkan mereka. Karena mereka telah memilih untuk berjuang meretas jalan menuju kekuasaan dan tetap tegar walau gagal. Kami malah bersyukur. Karena tidak ada yang harus menjalani terapi atau berobat ke rumah sakit jiwa akibat depresi dan gangguan jiwa yang dialami karena utang yang tidak mampu dibayar. Atau malu karena terlanjur berkoar-koar di depan banyak orang. Kami juga tidak perlu repot-repot untuk membantu menarik atau meminta kembali sejumlah sumbangan seperti sarung, kopiah, sajadah, kaos, karpet, dan lain sebagainya dari para warga yang menjadi konstituen mereka. Karena mereka memang tidak pernah menyumbang atau memberikan barang-barang seperti itu ketika musim kampanye kemarin.

Jelas sudah. Perjamuan terakhir di kafe Cikini Jakarta yang kami selenggarakan semalam sebelum hari penandaan ternyata ada gunanya juga untuk mereka. Ketika satu persatu kawan-kawan mantan caleg itu kami hubungi pascapenetapan penghitungan suara manual di KPU beberapa waktu lalu (dan panggilan lewat telpon itu kami ulangi lagi ketika KPU melakukan perubahan perolehan kursi, Rabu atau 13/5) tetap saja tidak ada yang berubah dengan kondisi mental mereka. Semua tetap seperti sedia kala. Sebelum tak genap, setelah tak ganjil.

Kalaupun ada yang berubah pascapemilu legislatif adalah bahwa pada saat ini kami menjadi sering bertemu, bahkan bisa dibilang pertemuan rutin. Setiap Kamis malam pertemuan itu dilakukan di sebuah gedung di Jakarta Selatan dengan agenda pembahasan menyikapi kondisi mutakhir. Jadi ini semacam forum diskusi-kontemplasi-yang-diharapkan-berakhir-dengan-aksi. Setelah saya pikir-pikir apa yang terjadi pada saat ini adalah buah dari perjalanan politik keenam kawan kami. Saya lebih senang menganggapnya sebagai hikmah. Dan forum Kamis malam itu adalah hikmah pertama.

Hikmah kedua, adalah kami, dengan pengalaman yang disampaikan oleh kawan-kawan kami itu, menjadi lebih tahu bahwa dunia politik praktis memang sarat dengan kepentingan-kepentingan sesaat yang dijalankan dengan cara-cara yang sesat. Betapa tidak. Dua orang kawan kami yang mendapatkan suara cukup signifikan pada sebuah parpol besar ternyata kalah karena tiba-tiba jumlah suaranya menciut, sementara caleg yang dijagokan oleh lingkaran dalam struktur parpol tersebut (tentu dengan sejumlah alasan; seperti uang dan imbalan tertentu) berhasil lolos ke Senayan.

Seorang kawan kami yang lain juga mengalami nasib yang sama. Suara yang dengan susah payah ia kumpulkan berpindah ke caleg yang lain setelah penghitungan dilakukan di tingkat panitia pemilihan kecamatan. Memang sulit bagi kami untuk membenarkan ataupun menganggap cerita kawan-kawan kami itu adalah rekaan, sebagai sekadar dalih bahwa kekalahan mereka karena dicurangi. Walau tidak mampu mengadakan verifikasi atas semua cerita-cerita itu, namun kami tetap yakin jika ada yang tidak beres dengan kondisi perpolitikan di tubuh parpol-parpol kita. Selain itu, kami percaya karena kawan-kawan kami ini bukanlah pengurus PSSI yang punya hobi menyalahkan faktor eksternal ketimbang melakukan introspeksi diri.

Hikmah yang ketiga, adalah bahwa kami telah diajari betapa uang dan kekuasaan seperti dua sisi mata koin. Memiliki salah satunya sisinya niscaya akan menikmati satu sisi yang lainnya. Keduanya adalah simbol kesuksesan duniawi yang hakiki. Dan kawan-kawan kami telah dikalahkan karena minimnya dua sumber daya ini; uang dan kuasa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dalam segala arti dan bentuknya. Menyelami ini seperti mengingat kembali pernyataan almarhum Nurcholis Madjid. Ketika hendak memasuki putaran penyisihan pada konvensi calon presiden Partai Golkar tahun 2004 lalu, beliau sebenarnya telah mengajarkan agar siapapun yang ingin terjun ke kancah politik, tanpa ditemani logistik yang mumpuni, harus berpikir seribu kali. Alm. Cak Nur memberi keteladanan dengan mundur dari konvensi dan tidak ngotot karena alasan ini.

Hikmah yang keempat. Mereka yang menyandang status aktivis mahasiswa dan mantan aktivis mahasiswa --yang turut terlibat dalam perjuangan menumbangkan rezim otoriter orde baru-- harus mengakui kekalahan mereka dalam hal elektabilitas dibanding para selebriti. Dan ini sungguh tragis. Karena kekalahan yang diderita terjadi di kancah politik. Sebuah arena pertempuran yang sehari-hari digeluti oleh kawan-kawan kami. Baik dalam forum diskusi maupun agenda aksi. Kesalahan apa yang bisa dipelajari dari tragedi ini? Mau tahu? Tunggu saja tulisan saya berikutnya (he he).

Ketenaran memang ibarat lampu pijar pada sebuah rumah di pinggir sawah. Ia mampu menarik perhatian anai-anai untuk mendekat dan kemudian dicaplok para cicak dan katak. Tetapi tidak dengan kunang-kunang, serangga berpantat lampu, yang lebih memilih menjadi penerang dan bukan diterangi. Harus diinsyafi, reformasi selama ini ternyata hanya menghasilkan anai-anai dan bukan kunang-kunang. Sialnya, para aktivis mahasiswa dan mantannya belum mampu mengoreksi keadaan ini.

Mengenai popularitas, seorang teman berseloroh, kalau saja Rhani Juliani (perempuan yang terlibat dalam pusaran segitiga misteri Nasrudin-Antasari) mencalonkan diri sebagai caleg dari parpol gurem sekalipun ia bisa saja menang dan melenggang ke Senayan. Sebuah pernyataan sarkastis, namun cukup realistis. Awam yang tersihir budaya instan sekarang ini ternyata lebih memilih bungkus daripada isi. Lantaran lebih mudah dan tidak perlu buang-buang energi. Tetapi ini memang hikmah yang harus disyukuri. Anda tentu bisa membayangkan bagaimana perdebatan-perdebatan yang akan terjadi apabila seorang Rachel Maryam beradu mulut dengan Adian Napitupulu. Atau seorang Primus Yustisio bersilang pendapat dengan Sarbini di ruang sidang dewan. Jelaslah, ada tangan-tak-terlihat yang mengatur semua suratan ini. Para selebriti dan para pemilik uang dan kuasa yang dengan sumber dayanya berhasil menjadi wakil rakyat tentu tidak sekelas dengan kawan-kawan kami itu. Para wakil rakyat sejati. Anggota parlemen jalanan yang besar karena melawan, bukan karena menawan. Menyelami hikmah ini, bolehlah kita mengutip Tan Malaka dalam salah satu buku monumentalnya, Madilog: resan air ke air, resan minyak ke minyak.

Tuesday, April 28, 2009

AWASI OLIGARKI!!!

Alot. Mungkin hanya itu kata yang tepat untuk menggambarkan betapa sulitnya mencari cawapres untuk dipersandingkan dengan kedua capres potensial yang namanya tercantum dalam judul tulisan ini. Sengaja nama Jusuf Kalla tidak dimasukkan sebagai capres karena pada saat tulisan ini dibuat, beliau sedang menghadapi perpecahan internal di Partai Golkar. Yang terbelah antara kubu yang menginginkan sang ketua umumnya sebagai capres dan kubu yang memintanya mendampingi SBY sebagai cawapres. Situasi politik saat ini seperti menggerakkan jarum jam berputar mundur ke masa orde baru dulu. Setiap habis pemilu di masa itu, Alm. Jenderal Besar Suharto sebagai calon presiden tunggal dan incumbent tak pernah mendapatkan kesulitan untuk menduduki kembali tahtanya sebagai orang nomor satu di republik ini. Hingga berhasil mengawetkan kekuasaan itu dalam genggamannya selama 32 tahun. Riak-riak politik justru terjadi ketika Suharto membutuhkan mempelai yang akan mendampinginya saat dilantik di depan sidang paripurna MPR.

Kita ingat, Alm. Hasan Metareum mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan pernah mencoba peruntungan politiknya dengan mengajukan diri menjadi cawapres Suharto. Namun, upaya Buya Ismail seperti pemuda mabuk kepayang yang bertepuk sebelah tangan. Kala itu, penolakan justru datang dari Suharto sendiri (lengkapnya bisa dibaca di buku biografi Suharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya). Ketika Habibie digadang-gadang Suharto untuk mendampinginya di senja kala kekuasaannya, persinggungan politik juga terjadi di antara kaki tangan sang Jenderal Besar. Namun, dampaknya tidak pernah mengurangi kekuatan politik dan pengaruh Suharto. Maklum, di masa itu, Suharto adalah episentrum kekuasaan. Bahkan, sebagian ilmuwan politik beranggapan, Suharto adalah kekuasaan itu sendiri. Suharto berhasil melakukan personalisasi jabatan kepresidenan, kata pengamat itu. Maka, bagaimanapun konflik dan gesekan politik akibat perebutan pengaruh pada internal dan antarelemen ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) sebagai triumvirat penyangga orde baru karena masing-masing memiliki jago untuk mendampingi Suharto, mantan serdadu KNIL itu selalu bisa meredamnya dengan langgam politiknya yang khas. Sesuai dengan filosofi Jawa yang selalu diucapkannya: digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.

Kini, sejarah itu seperti berulang. Tentu, dengan bungkusnya yang jauh berbeda, namun isinya bisa dibilang sama saja. Masih terjadi oligarki politik yang menihilkan partisipasi politik rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan dan mengandalkan pengambilan keputusan pada segelintir elit politik. Jika dulu center of power berada di tangan Suharto seorang, maka kini kendali untuk mengarahkan wajah perpolitikan ke depan berada di tangan SBY dan Mega. Dua petinggi parpol besar sekaligus dua capres yang akan bertanding pada 8 Juli nanti. Untuk menentukan siapa cawapres yang akan menemani mereka pada pertempuran itu, keduanya memiliki hak istimewa untuk memilih sendiri. SBY diserahi 19 nama oleh DPP Partai Demokrat. Sementara, Mega lebih longgar lagi. Hasil Rakernas V PDIP terakhir tidak terlalu jelas berapa nama yang direkomendasikan partai untuk dipertimbangkan.

Sulit memang untuk langsung menyalahkan kedua figur itu, yang tentu saja sangat menikmati privilege oligarki tersebut, karena mekanisme dan prosesnya berlangsung dalam institusionalisasi politik yang demokratis, baik lewat rakernas ataupun rapimnas (bottom up). Namun, fenomena itu jelas menyiratkan jika warisan otentik dari struktur dan kultur otoriter orde baru yang menegasi hak-hak politik rakyat masih berlangsung (lengkapnya bisa dibaca di Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai karya Syamsudin Harris). Secara murni dan konsekuen.

Sialnya lagi, jika ternyata pada pilpres mendatang hanya dua nama itu yang muncul sebagai petarung. Itu berarti rakyat tidak punya pilihan kecuali mendapatkan calon presiden yang adalah pelaku oligarki. Walau hanya di tingkat partai politik, namun gaya kepemimpinan yang menghalalkan tumbuhnya kultur dan struktur oligarki pada partai mereka bukan tidak mungkin akan terbawa saat menduduki jabatan sebagai figur nomor satu di republik ini. Tentu asumsi ini masih terlalu dini. Namun, sebagai diskursus setidaknya kita bisa menginsyafi jika era reformasi saat ini baru pada tahapan berhasil menyelenggarakan seremoni dan selebrasi demokrasi politik, yang hanya memanjakan hak azasi segelintir politisi.

Wednesday, April 08, 2009

Caleg Gila dan Simple Plan

Dua hari yang lalu, seorang kawan yang lama tidak pernah bersua tiba-tiba menelpon saya. Ia mengundang untuk datang pada sebuah kafe terkenal di kawasan Cikini Jakarta. Agenda pokok pertemuan pada malam itu adalah untuk menghibur enam orang kawan kami yang akan bertarung dalam pemilu legislatif, Kamis (9/4) besok. "Anggaplah ini ajang relaksasi. Agar mereka tidak sakit jiwa, jika kalah," katanya. Aku hanya tersenyum mendengar penjelasan itu. Ada sinisme yang tersamar namun cukup kuat terpesan. Sayang, malam itu ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Undangan mendadak itu tidak bisa dipenuhi, walau hanya sebentar.

Ketika keenam kawan kami itu menyampaikan niatnya untuk ikut bertaruh dalam perjudian terbesar dalam kehidupan mereka --juga bagi komunitas kami, saya sudah lebih dahulu underestimate. Waktu itu, saya berasumsi kalaupun mereka lolos disaring dewan pimpinan pusat parpol tempat mereka melamar, paling-paling hanya mendapat nomor sepatu dalam urutan caleg. Penyebabnya banyak, namun yang paling menonjol adalah karena mereka rata-rata bukan kader parpol yang --kalau memakai terminologi salah satu parpol eks pilar orba-- tidak memenuhi unsur PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela) yang memadai. Bahkan, keenam kawan kami itu bisa dibilang kader dadakan. Yang lain, dan ini yang sebenarnya paling menentukan, adalah minimnya logistik yang seharusnya menjadi modal mereka.

Dan, tebakan saya bisa dibilang cukup jitu. 4 dari 6 kawan kami itu mendapat nomor urut yang kurang aman jika ditinjau dari perolehan kursi parpol yang mereka tunggangi pada pemilu 2004 lalu dan nomor urut yang mereka dapatkan. Kami pun mewanti-wanti keempat orang teman kami itu agar mereka tahu diri. Begitu juga terhadap kedua orang yang lain, karena, ya itu tadi, parpol yang mengusung mereka adalah parpol baru yang punya nafsu besar namun zonder tenaga.

Namun, putusan Mahkamah Konstitusi, mengenai caleg terpilih tidak ditentukan oleh nomor urut tetapi berdasarkan perolehan suara terbanyak, mengubah semuanya. Keenam kawan kami yang semula cukup tahu diri, kini mulai mengukur-ukur kekuatan dan kemungkinan ke depan. Uang pendapatan dan tabungan serta sejumlah pengeluaran yang semula direncanakan pun dihitung ulang. Mereka lalu mengalokasikan uang lebih yang didapat dari perhitungan itu untuk kampanye terbuka. Jangan bayangkan kampanye yang dilakukan keenam kawan kami itu berupa iklan diri di media massa. Uang mereka hanya cukup untuk membayar "pengamen politik" yang berseliweran untuk menawarkan jasa pengerahan massa atau mendekati tokoh-tokoh masyarat tertentu. Walau uang yang dikeluarkan tidak menjamin perolehan suara yang akan didapatkan, namun keenam kawan kami itu tidak peduli. Jika layar harapan telah terbentang, maka surut langkah terpantang.

Kini, di masa tenang, mereka berhenti beraksi dan kembali mengkalkulasi. Uang yang dikeluarkan dan tenaga yang dikucurkan ditimbang ulang dengan perkiraan perolehan suara yang akan didulang. Hasilnya, tidak diduga semua terperanjat. Sedari awal, mereka, dan juga kami, tidak menyadari jika ada yang namanya parliamantary treshold, sebuah mekanisme pembatasan parpol peserta pemilu untuk diikutkan dalam penghitungan perolehan kursi DPR di setiap daerah pemilihan. Dengan ambang batas 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional, 5 dari 6 kawan kami kembali harus tahu diri. Mereka telah berhitung peluang parpol mereka tidak sebesar harapan yang pernah mereka gelembungkan.

Mungkin, itu sebabnya kawan yang menelpon saya itu berkata jika acara di kafe itu harus diselenggarakan. Esok paginya, setelah acara bubar, saya menelpon balik kawan saya itu. Saya bertanya kepadanya, bagaimana sikap dan perilaku keenam kawan kami itu. Apakah mereka mabuk-mabukan hingga tidak sadar.
"Tenang saja kawan. Tidak ada lagi dari kami yang seperti itu. Semalam, kami banyak menghabiskan waktu dengan menyanyi."
"Lagu apa saja yang kalian nyanyikan hingga semalaman?"
"Tidak banyak. Yang paling sering diulang-ulang, ya, lagunya Simple Plan."
"Yang judulnya apa?"
"How could this happen to me!"

Walau saya tidak tahu secara penuh lirik lagu itu, apalagi maksudnya, namun saya yakin keenam kawan kami itu sudah mengeluarkan sebagian kejumudan yang membekap hati dan pikiran mereka. Mudah-mudahan pula itu bukan cermin dari sebuah sikap pengakuan akan kekalahan yang bakal menjadi beban. Dan, esok pagi sebelum berangkat menuju TPS saya akan menyempatkan diri untuk mengirim pesan singkat berisi ucapan selamat atas keberanian dan perjuangan yang telah mereka lakukan. Mudah-mudahan itu cukup membantu mereka menghindari rumah sakit jiwa. Semoga.

Monday, March 23, 2009

Mereka adalah Calon Wakil Kita

Mereka adalah calon wakil kita yang akan mengusung aspirasi dan visi anak negeri. Tetapi, bagaimana kita yakin mereka mampu, jika untuk berkomunikasi dengan rakyat saja mereka masih butuh dibantu?





Tak perlu mencantumkan program dan misi, cukup nama suami.





Jargon oke, pesan jelas. Namun, pencantuman nama bapak dikhawatirkan berdampak kontraproduktif, terutama terhadap pemilih pria remaja dan orang tua yang trauma karena "burungnya" pernah disembelih sang bapak.



Dari selebriti panggung ingin naik kelas menjadi selebriti politik. Tetapi, Nana, siapa lelaki bodoh itu yang begitu teganya meninggalkan perempuan seperti kamu?

Wednesday, March 11, 2009

Mematung Rojali (2)




Kini, aku Rojali masih ingin terus menjadi saksi, bagi kelancaran kendaraan yang penumpang dan supirnya terus melihatku dengan seribu pikiran yang tak kan pernah kutahu.









Rojali namaku. Aku tak tahu kapan aku bisa terus berdiri dan berhenti. Mungkin suatu saat nanti kau tak akan pernah bisa melihatku lagi. Dan aku berharap, pada saat itu, ada sejumput rezeki yang bisa kuhabiskan untuk menunaikan masa tua nanti.

Tuesday, March 10, 2009

Mematung Rojali (1)



Mematung Rojali. Demi tigapuluh ribu rupiah setiap hari. Kutepiskan debu, panas terik, air hujan, dan cercaan pengguna jalan, demi perut istri dan diri sendiri yang tidak pernah bisa diajak kompromi.

border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5311570055130860818" />

Panggil aku Rojali. Aku selalu bersyukur karena masih bisa hidup walau dengan cara yang seperti ini. Walau istriku mungkin tak setuju, tetapi ia tidak pernah melarangku. Karena ia adalah seorang istri yang setia yang yang mau menerima kulit hitamku setelah dipanggang terik matahari dan tetap memelukku setelah badanku basah karena dihajar air hujan sepanjang jalan.




Aku selalu menghormati makanan istriku, seperti ia menghormati diriku. Itu sebabnya kau tidak akan pernah melihatkan menyentuh makanan warung di pinggir jalan, karena aku selalu menyediakan ruang dalam lambungku hanya untuk makanan yang dibuat istriku, walau untuk itu aku harus menahan laparku hingga pukul delapan malam, sejak aku keluar rumah pukul delapan pagi hanya berteman sebotol air mineral.

border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5311570040348700930" />

(bersambung)

Sunday, March 08, 2009

Diceramahi Abdul Hadi Jamal (2)

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengutarakan kesulitannya dalam menghadapi dinamika politik setelah mengikuti proses pencalonannya sebagai legislator untuk daerah pemilihan IV Jawa Tengah yang meliputi tiga kabupaten; Sragen-Wonogiri-Karanganyar. Semua itu, dinilainya, bersumber dari Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai terpilihnya caleg yang ditentukan oleh suara terbanyak. Keputusan ini otomatis menganulir ketentuan sebelumnya di mana caleg terpilih ditentukan atas dasar nomor urut di kertas suara.

"Kok bisa? Bukankah dengan keputusan MK itu, posisi kau yang berada di nomor urut belakang punya peluang lebih besar dari sebelumnya?"
"Iya. Secara positif, bisa dikatakan seperti itu. Namun, eksesnya adalah kita-kita yang berada di nomor urut belakang harus berupaya sekuat tenaga untuk bisa muncul. Belum lagi peta perebutan pengaruh saat ini sudah menjadi melebar. Dulu, kita hanya bertarung dengan parpol lain, sekarang dengan teman sendiri pun kita saling menyikut dan menohok. Seperti sekarang ini, wilayah yang sudah saya prediksi bakal dikuasai, ternyata malah diobok-obok teman sendiri. Dan, saya pikir, fenomena ini juga menimpa rekan-rekan caleg dari parpol lain. Keputusan MK ini juga menjadikan caleg dengan dana kampanye yang terkuatlah yang mampu mengonsolidasikan kekuatannya secara baik. Bisa dibilang Pemilu 2009 ini sebagai Pemilu Kapitalisasi. Pemilu untuk para pemilik modal dan dana."
"Kok bisa begitu?"
"Waktu saya masuk kabupaten Wonogiri seminggu lalu, saya ditawari seorang tokoh DPC (daerah pengurus cabang, red) Wonogiri, jika ingin menang cukup memberinya uang 50 juta untuk satu kecamatan di wilayah Wonogiri. Dengan uang itu, ia menjamin seluruh kader dan simpatisan partai akan mencontreng nama saya. Di Wonogiri itu ada 25 kecamatan, jika saya mengikuti ucapannya maka saya harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 1,25 milyar. Itu hanya untuk satu Wonogiri, belum Karanganyar dan Sragen. Saya sendiri menolak tawaran tersebut, karena memang tidak punya uang sebanyak itu. Entah kalau caleg yang lain. Tiga caleg di atas saya (dari parpol yang sama, red), dua di antaranya adalah pengusaha ternama. Kader modal semangat dan loyalitas kayak saya ini paling-paling hanya bisa pasrah saja."
"Wah, kok sudah separah itu, ya? Saya khawatir, para caleg yang terpilih dengan peraturan baru ini nantinya akan lebih lebih berkonsentrasi untuk mengembalikan modal kampanyenya ketimbang memenuhi aspirasi konstituennya."
"Begitulah. Menurut saya, seharusnya putusan MK ini dikeluarkan jauh hari sebelum masa kampanye di mulai. Ini untuk memudahkan para kader parpol memperkenalkan diri kepada konstituen. Kalau seperti ini, yang terjadi adalah siapa yang modalnya kuat dialah yang paling bisa mendekat ke rakyat."
"Lalu, apa peran DPP?"
"Nah, ini yang menggelikan. Tentu saja, DPP mempunyai peran bagi mereka yang memegang uang atau mereka yang dekat secara pribadi dengan figur di DPP. Mereka itulah yang digadang-gadang orang DPP ke basis-basis kader atau konstituen, sementara kami-kami ini dianggurkan. Yang lucunya lagi, kemarin itu, kami sempat dikumpulkan oleh pihak DPP dan DPD, mereka meminta para caleg untuk urunan buat membayar uang lelah para saksi-saksi di TPS. Tentu saja banyak yang keberatan. Waktu kampanye seperti sekarang ini kami tidak banyak dibantu, tetapi untuk masalah itu kami diminta urunan."

Dari penjelasan sang teman tersebut, saya bisa memahami mengapa uang memegang peranan penting dalam kampanye pemilu kali ini. Tentu, tidak terlalu sulit menghubungkan antara kebutuhan logistik kampanye dengan masalah kriminal yang membekap para caleg-caleg yang sudah tertangkap. Persoalannya, apakah para pengambil kebijakan di negeri ini sudah menginsyafi jika semua sendi di negara ini telah mengalami komersialisasi dan komodifikasi, termasuk Pemilu tahun ini. Atau dalam bahasa teman saya itu sebagai Pemilu Kapitalisasi. Saya sendiri lebih senang dengan ungkapan satir orang Tapanuli: hepeng mangatur nagaraon.

Saya mengenal AHJ karena profesi. Sebagai jurnalis saya sering berhubungan dengan AHJ, walaupun hanya melalui telephon. Kadang untuk keperluan wawancara dan pembuatan program saya harus menelephonnya lewat dari pukul 10 malam. AHJ sendiri tidak pernah merasa keberatan dengan telephon-telephon dari saya itu. Ia selalu mengangkat dan menjawabnya, walau posisinya berada di Makasar Sulawesi Selatan atau pukul 11 malam waktu setempat. Dalam perbincangan, kami tidak melulu membicarakan mengenai topik wawancara atau program. Ada juga kami berbicara mengenai hal lain. Dari situ dapat saya pahami jika AHJ termasuk legislator yang responsif untuk konstituennya di Sulawesi Selatan dan cukup mumpuni untuk permasalahan yang menjadi tugasnya di DPR, yaitu komisi perhubungan dan transportasi.

Tetapi persepsi saya mengenai AHJ itu terjadi dua atau tiga bulan sebelum yang bersangkutan ditangkap karena diduga terlibat suap. Sekarang persepsi di kepala saya pun bertambah mengenai AHJ. Tidak hanya itu, persepsi saya mengenai Pemilu 2009 pun semakin banyak pula. Jika, menuruti analisis Arbi Sanit, AHJ mungkin saja tidak mendekam di sel tahanan KPK jika ia tidak lagi mencalonkan diri sebagai anggota DPR lagi. Ia saat ini mungkin sedang bercengkrama dengan anggota keluarga atau dengan para cucu tercinta.

Tetapi untunglah ada kasus AHJ (dan juga caleg-caleg yang tertangkap karena diduga terlibat kriminal dengan motif ekonomi). Karena AHJ dan mereka semua telah menceramahi kita jika komodifikasi, komersialisasi, kapitalisasi, materialisasi, dan apapun namanya telah merasuki hati dan pikiran kita untuk memenuhi semua tuntutan itu dengan apapun caranya, walaupun mencuri. Pemilu yang dikomersialisasi telah menjadi bukti.

8 Maret 2009

Wednesday, March 04, 2009

Diceramahi Abdul Hadi Jamal (1)

Ini pengalaman purba yang kini menjadi pepatah bijak: jangan mengambil kesimpulan hanya melalui pandangan. Mata bisa menipu, itu kata orang tua kita dulu, maka hentikan menilai orang hanya karena baju yang dipakainya. Orang bule juga sepakat dengan ini, mereka juga punya petuah yang bunyi dan maknanya sama: don’t judge a book by its cover. Dalam bahasa dogma, kita diingatkan untuk tidak suudzzhon (berprasangka buruk) terhadap sesama mahluk hidup.

Mungkin begitu pula seharusnya kita memperlakukan Abdul Hadi Jamal (AHJ). Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI yang tertangkap tangan oleh KPK sedang menerima suap pada Senin (2/3) malam kemarin. Terlalu dini jika kita menghakimi AHJ sebagai koruptor. Karena memang belum ada keputusan inkrach yang menetapkan dirinya adalah koruptor.

Namun, bagaimanapun, penangkapan AHJ telah menambah daftar panjang para caleg yang tertangkap karena terlibat tindak kriminal. Anda tahu, sebelum kasus AHJ, di Jembrana Bali seorang caleg ditangkap polisi karena diduga terlibat kasus illegal logging atau pembalakan liar (1/3). Demikian pula di Riau, seorang caleg perempuan ditangkap petugas ketika kedapatan membawa sekitar 1000 butir pil ekstasi (13/2).

Yang paling menggelikan adalah kejadian di Pulogadung Jakarta Timur. Seorang caleg dibekuk polisi karena tertangkap tangan hendak mencuri motor (15/2). Menanggapi peristiwa ini, seorang pengurus cabang dari partai tempat si caleg tersebut berasal berkilah, jika HS, nama caleg tersebut, bukan mencuri, tetapi salah ambil motor. Padahal, dari penjelasan pihak kepolisian, sebagaimana disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya, diketahui jika HS tidak bisa mengendarai motor.

"Kamu ini kan caleg. Calon anggota dewan yang terhormat, tetapi mengapa kamu mencuri motor?"
"Saya tidak mencuri motor. Saya hanya salah ambil motor."
"Memangnya kamu punya motor?"
"Eeh..uuh..Tidak, Pak."
(ilustrasi diperankan oleh model)

Walau semua perkara kriminal yang melibatkan para calon wakil rakyat tadi belum diputus oleh hakim, namun motivasi dari semua pelanggaran hukum yang dilakukan para caleg tadi bisa jadi lantaran faktor ekonomi karena masalah pencalegan. Arbi Sanit bilang penangkapan AHJ besar kemungkinan didasari motivasi untuk memperkuat logistik kampanyenya (detikcom, 4/3). Ke arah itulah tulisan ini akan mengalir.

Tuesday, March 03, 2009

David Hartanto dan 9 Orang Singapura

Berita mengejutkan itu tersiar pada Senin (2/3) siang. Seorang mahasiswa asal Indonesia bernama David Hartanto Wijaya menikam dosen pembimbingnya Profesor Chan Kap Luk dan kemudian melakukan bunuh diri dengan melompat dari sebuah gedung di kompleks Nanyang Technology University (NTU). Bukan hanya cara kematiannya yang menggemparkan, pelaku dan korban peristiwa itu juga bukan orang sembarangan.

Selain pintar, David adalah orang baik-baik. Sesama temannya mengenangnya sebagai mahasiswa yang ramah dan menyenangkan. Mendiang juga adalah anggota kontingen Olimpiade Matematika Indonesia di Meksiko pada tahun 2005. Sementara Profesor Chan juga tidak pernah memiliki catatan buruk dalam bidang pendidikan, setidaknya itulah yang terekam dalam profil dosen tersebut di situs milik NTU.

Jika keduanya adalah orang baik-baik, lalu mengapa bisa terjadi peristiwa ini? Dengan kata lain, apa motivasi David menikam Prof Chan lalu mengakhiri hidupnya di kampusnya sendiri? Inilah yang masih menjadi teka-teki dan kini menjadi perhatian utama para polisi. Pers dan konsumen berita di Indonesia hanya bisa mengikutinya dari pinggir lapangan karena tempat kejadian perkara terletak nun jauh di negeri seberang.

Karena tidak bisa mengikuti secara langsung proses penyelidikan, maka teori mengupas berita seperti makan bubur panas pun dicoba. Anda tahu, jika ingin menyantap bubur panas-panas karena lapar sudah tak bisa dijinakkan, cara yang terbaik adalah dengan menyendok pinggir-pinggirnya lebih dulu karena lebih dingin dari pada yang di tengah mangkuk. Program Seputar Indonesia di RCTI, misalnya, melakukan hal itu pada Selasa (3/3) sore. Wartawannya mewawancarai seorang pakar sekaligus praktisi pendidikan DR Arif Rahman Hakim untuk mengomentari peristiwa tragis itu.

Dalam salah satu asumsinya, Arif Rahman memaparkan jika peristiwa itu bisa saja terjadi karena minimnya olah hati dan rasa. Ditambah beban akademis yang sedemikian besar, yang umumnya menjadi tekanan bagi mahasiswa pada kampus-kampus favorit –NTU adalah satu dari seratus kampus terbaik di dunia—maka sangat mungkin terjadi, depresi mengakhiri klimaksnya dengan bunuh diri. Dengan kata lain, bisa disimpulkan untuk sementara jika mendiang David melakukan hal itu dalam kondisi kejiwaan yang lara alias tidak bahagia.

Padahal, David tinggal di Singapura. Negara di mana 9 dari 10 penduduknya merasa optimis dan hidup berbahagia. Setidaknya itulah klaim yang disampaikan oleh Ngiam Shih Chun dan Lee Tze Hao, keduanya adalah pejabat setingkat direktur dari Kementerian Pengembangan Komunitas, Pemuda dan Olahraga Singapura di depan para peserta Indonesian Journalist Visit Programme, pada akhir 2008 kemarin. Klaim itu menyandarkan data pada hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian itu mengenai perilaku sosial warga Singapura, pada tahun 2007. “Mengapa warga Singapura merasa bahagia? Lantaran mereka hidup dalam kesejahteraan, keharmonisan dan keteraturan,” demikian jelas Ngiam Direktur Bagian Hubungan dan Penguatan Komunitas pada waktu itu.

Memang amat sulit untuk menampik pengakuan Ngiam, yang sedikit melemahkan kebanggan kita akan Indonesia, yang dasarnya memang sudah lemah, itu. Kita, di Indonesia hanya tidak punya kesejahteraan untuk bisa sama-sama merasakan kebahagiaan seperti yang dialami 90 persen dari 3,8 juta warga Singapura. Dua faktor kebahagiaan yang dimiliki Singapura juga ada di Indonesia. Singapura dan Indonesia adalah dua negeri yang warganya bisa berbeda-beda secara harmonis. Demikian pula dengan keteraturan, jika di Singapura semua berlangsung secara teratur, maka di Indonesia semua bisa diatur. Sebuah lelucon yang tentu menjadi menyebalkan di tengah berita kedukaan.

Oh iya, kita kembali lagi ke masalah kebahagiaan. “Jika 9 dari 10 orang Singapura dinyatakan hidup berbahagia, lalu mengapa yang satu itu tidak berbahagia?” demikian tanya salah satu teman pada saat itu kepada Ngiam. Menanggapi pertanyaan itu, Ngiam mati kutu. Rupanya makalah yang mungkin ditulis anak buahnya tidak menampilkan data survei yang detail. Ia hanya berkilah, pastilah si responden yang tidak bahagia itu memiliki perasaan yang berkebalikan dengan sembilan orang lainnya.

Lalu, apakah David termasuk di antara satu dari sepuluh orang Singapura yang tidak bahagia? Tentu saja bukan. Alasannya jelas, David bukanlah warga negara Singapura. Mendiang tentu bukan salah satu responden yang disasar secara acak oleh lembaga survei tadi. Tidak hanya itu, di luar bebannya sebagai mahasiswa NTU, David pastilah menjalani kehidupan yang bahagia, atau setidaknya sejahtera. Tengok saja latar pendidikan yang dijalani David. Selain kuliah di NTU, David adalah juga alumni SMAK 1 BPK Penabur. Tidak sembarang orang bisa menuntut ilmu di sekolah yang banyak melahirkan juara olimpiade internasional di bidang ilmu pengetahuan itu. Jika Anda kembali bertanya, lalu apa sebenarnya yang menjadi motivasi tindakan mendiang David? Mau tahu jawabannya? Sabar ya, buburnya masih panas.

2 Maret 2009

Monday, March 02, 2009

Pelajaran dari Singapura Buat Para Caleg Kita

Dalam Program Kunjungan Jurnalis Indonesia ke Singapura pada akhir tahun 2008 yang lalu, elit politik Singapura membeberkan program politik mirip pelayanan sosial kepada konstituennya atau Meet-the-People Session. Mudah-mudahan bisa dicontoh para caleg yang saat ini sedang berebut suara pemilih.

Sore baru saja bertemu malam. Namun, selasar di lantai dasar rumah susun yang terletak di Woodlands Drive Singapura, Selasa malam (28/10) itu sudah disesaki tigapuluhan warga, dengan usia rata-rata di atas 30 tahun. Sambil duduk-duduk banyak dari mereka yang menyibukkan diri dengan membaca, atau menyumpal kuping dengan earphone untuk mendengarkan alunan musik. Ada pula yang terlibat percakapan sambil berdiri. Itu mereka lakukan sambil mengantri tertib menunggu panggilan. Satu per satu dari mereka dipanggil dan memasuki sebuah ruangan, yang sebenarnya adalah ruang kelas Woodlands Kindergarten. Namun, panjang antrian tidak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Karena jumlah yang pulang tidak sebanding dengan warga yang datang.

Antrian itu bukan untuk menunggu pemeriksaan dokter. Atau untuk mendapatkan bantuan langsung tunai seperti di Indonesia. Mereka adalah warga yang ingin memecahkan masalah hidup yang dihadapi sehari-hari. Untuk itu mereka berharap bisa bertemu langsung dengan anggota Parlemen Singapura Dr Mohammad Maliki bin Osman.

Inilah Meet-the-People Session MPS). Program politik milik People Actian Party (PAP), partai pemegang mayoritas tunggal Singapura. MPS mengharuskan anggota Parlemen PAP untuk melayani rakyat secara langsung. Anggota parlemen itu harus rela mendengar, bahkan mencarikan jalan keluar dari kebuntuan yang menjadi masalah rakyat. Mulai dari persoalan internal suami istri hingga ketegangan yang terjadi antartetangga. Mulai dari soal kesulitan membayar tagihan listrik atau telpon atau mencicil kredit apartemen hingga masalah orangtua yang tidak mampu membeli buku atau bahkan susu untuk anaknya.

Ini tentu berbeda dengan temu kader seperti yang dilakukan para wakil rakyat dari DPR RI, kala reses. Jika temu kader berlangsung seperti rapat massal yang diselenggarakan dalam tempo singkat dengan cara tidak seksama, maka MPS berjalan rutin, seminggu sekali. Kecuali hari-hari libur nasional, tentunya. Hebatnya lagi, dalam menjalani MPS anggota Parlemen akan bertemu empat mata dengan rakyatnya dengan waktu pertemuan yang relatif. Bergantung dari besar kecilnya masalah yang dibawa sang rakyat. Jadi, mirip praktik dokter, tidak hanya memberikan diagnosa namun juga mengobati derita.

“Jika melihat animo masyarakat yang seperti ini, pertemuan bisa berlangsung hingga pukul satu dinihari,” jelas Justus Chua. Justus adalah satu dari 15 relawan yang malam itu membantu Dr Maliki menemui warga sejak pukul tujuh malam waktu setempat. Bersama sepuluh relawan lainnya, Justus kebagian tugas mencek rekam jejak warga yang ingin berkonsultasi dan menyeleksi kadar persoalan. “Kalau persoalannya ringan, saya bisa memberikan saran dan jalan keluar sesuai keperluan, namun jika sudah kelewat berat dan butuh kebijakan dari atas, Saya akan menyerahkannya ke Mr. Maliki”. Sementara, lima rekan Justus yang lain bertindak sebagai tenaga administrasi yang mencatat dan mendata identitas warga ke dalam sebuah kartu. Bentuk dan fungsi kartu ini mirip dengan rekam medis pasien rumah sakit.

“Kartu ini akan saya isi dengan keluhan warga,” terang Justus sambil menunjukkan selembar kertas tebal bergaris-garis berwarna biru. Jika dalam sebulan kartu sudah terisi penuh, itu berarti warga tadi selalu datang membawa keluhan setiap minggu. “Terhadap warga yang seperti itu, kami tidak akan berikan pelayanan lagi. Kecuali, warga itu datang dengan masalah yang berbeda.”

Tetapi, bagaimana jika ternyata anggota parlemennya yang tidak datang dalam MPS? “Selain akan ditegur oleh partai, anggota parlemen yang seperti itu tentu tidak akan dipilih lagi oleh rakyat,” tambah Justus, yang adalah Sekretaris Cabang PAP untuk Admiralty Sembawang. Pada pemilu 2006 lalu , Dr Maliki dipilih oleh mayoritas warga blok rumah susun Woodlands Drive yang termasuk dalam daerah pemilihan Admiralty dari Kelompok Perwakilan Konstituen Sembawang. Untuk memelihara dukungan warga, maka ia harus bekerja keras. Apalagi para pemilih di Singapura sudah rasional dan berasal dari latar yang multikultur dan multirasial.

Justus mengaku jika seluruh relawan yang terlibat dalam MPS tidak dibayar satu senpun. Namun, bukan berarti jerih payah Justus dan rekan-rekan akan berakhir sia-sia. Semua yang dilakukannya akan diganjar kompensasi berupa kondite untuk meningkatkan karir politiknya di PAP. Itu sebabnya, kegiatan ini tidak pernah kekurangan tenaga relawan.

Banyaknya bantuan relawan ternyata tidak membuat Maliki, sang anggota parlemen, hanya ongkang-ongkang kaki. Saat bertemu rakyat, ia harus mampu menjadi guru, bapak, sahabat, atau bahkan kepala lingkungan. Selain menjadi motivator, Maliki juga harus pandai menjadi mediator, jika terjadi masalah pelik antara warga dengan suatu institusi.

Seperti saat itu, seorang ibu berusia sekitar 50 tahun dari etnis Tionghoa datang mengadu kepadanya. Sambil menunjukkan sebuah surat peringatan dari pihak bank, ia bercerita jika sudah dua bulan terakhir ini tidak mampu membayar cicilan kredit rumah tokonya pada sebuah bank. Kondisi itu terjadi, akibat sang suami sedang sakit keras sehingga memperkecil penghasilan dan memperbesar pengeluaran. Setelah proses tanya jawab dan hitung-hitungan, yang semuanya dilakukan dalam bahasa Mandarin dan sedikit bahasa Inggris, karena hanya bahasa itu yang dikuasai wanita tadi, selama sekitar lima belas menit, Maliki menyarankan kepada wanita itu untuk menemui pihak bank secara langsung agar mendapatkan keringanan. Sambil tersenyum, ibu itu mengangguk setuju dengan jalan keluar yang disampaikan Maliki. “Jika belum selesai, datanglah kemari seminggu lagi,” kata Dr Maliki yang menguasai tiga bahasa: bahasa Inggris, Melayu dan Mandarin.

Selesai dengan ibu tadi. Giliran seorang perempuan muda dari etnis Melayu mendatanginya dengan wajah sendu. Ia dan empat orang saudaranya yang masih sekolah sudah menumpuk tagihan listrik, gas dan telpon selama dua bulan. "Suami saya di Johor (Malaysia, red.). Sudah empat bulan ini, ia tidak mengirim uang. Katanya, usahanya mau bangkrut." Sementara, kedua orang tua sudah lama tiada. "Kalau untuk memenuhi kebutuhan saja, saya masih bisa. Tapi, kalau untuk membayar seluruh tagihan, jelas tidak bisa," tambahnya. Memecahkan persoalan seperti itu, Maliki bertanya berapa uang yang bisa didapatkan perempuan itu dalam sebulan dan jumlah pengeluaran yang harus dibayar. Setelah proses hitung-menghitung selesai, Maliki berkesimpulan: "Untuk menunjukkan kalau kamu punya niat baik membayar tagihan, cobalah menekan pengeluaran bulanan. Jika ada sisa simpanlah untuk membayar jumlah tagihan yang belum terbayar. Itu untuk menunjukkan jika kamu punya niat baik untuk membayar." Sempat berdebat sebentar, namun perempuan tadi akhirnya setuju dengan jalan keluar itu.

Dalam beberapa kasus, jika warga yang datang kepadanya membutuhkan obat atau makanan dengan segera, maka Maliki akan mengeluarkan voucher yang selembarnya bernilai sepuluh dolar Singapura (atau setara dengan tujuh puluh ribu rupiah). Untuk menghindari pemberian bantuan yang salah sasaran, relawan yang bertugas akan mendatangi rumah warga. “Voucher juga tidak boleh dipergunakan untuk membeli rokok dan minuman beralkohol," tegas Maliki. Maliki memang harus berhati-hati dalam mengeluarkan voucher. Itu sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada si pemberi voucher. “Voucher ini didapat dari perusahan swasta yang menyelenggarakan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, red.).”

Ketika perbincangan berlangsung, tanpa sadar tumpukan kartu biru di mejanya mulai menebal. Itu artinya antrian warga yang harus dilayaninya sudah semakin bertambah. Dr Maliki mengisyaratkan untuk segera bekerja lagi, mungkin hingga pukul satu dinihari.

ahmad s
(tulisan ini juga dimuat pada Majalah Elshinta edisi Agustus 2008)

Mengapa Sulit Menemukan Sampah di Kota Singapura?

Singapura yang menyandarkan sebagian pendapatan devisanya kepada pariwisata nonkonvensional menanggulangi sampah dengan cara yang luar biasa. Uang bernilai hampir lima trilyun rupiah digelontorkan hanya untuk membangun megaproyek antisampah. Hasilnya ternyata juga ruuuarr biasa.

Bagi kota-kota besar dengan jumlah penduduk yang sesak, sampah adalah momok yang menyebalkan sekaligus mengkhawatirkan. Sebal, karena bau dan pemandangan yang ditimbulkannya. Khawatir, sebab masalah sampah sudah menimbulkan kematian dan bencana. Itu pernah terjadi di tempat pembuangan akhir sampah di Leuwigajah Kota Cimahi dan TPA Bantargebang Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

Di Singapura, soal sampah kini telah punah sejak tempat pembuangan akhir Semakau atau Semakau Landfill dibangun pada April 1995. Megaproyek yang bentuknya seperti atol atau pulau karang berbentuk cincin itu sejatinya berada di antara pulau Semakau dan pulau Sakeng. Dengan menumpang perahu motor dari Pelabuhan Penyeberangan Pasir Panjang, perjalanan menuju Semakau Landfill memakan waktu sekitar 20 menit. Pulau Semakau yang merupakan gugusan dari pulau-pulau mungil di selatan perairan Singapura, terletak 8 kilometer jaraknya dari daratan Singapura. Dari atas pulau sampah ini, pulau Batam dan pulau-pulau terluar milik Indonesia terlihat dengan jelas.

Walau menjadi tempat pembuangan akhir, di Semakau Landfill tidak akan ditemukan sedikitpun sampah yang dibawa dari daratan Singapura. Semua sampah kering telah berubah bentuk menjadi butiran debu dan pasir. Sementara untuk sampah basah telah berubah menjadi kompos. Untuk melakukan itu semua, manajemen Semakau Landfill yang berada di bawah Dewan Lingkungan Hidup Nasional Singapura telah mengeluarkan kebijakan integratif. “Pengelolaan sampah kami mulai sejak keluar dari rumah-rumah. Sampah domestik itu harus telah dipilih dan dipilah oleh warga sebelum dibuang ke tempat sampah.”jelas Ong Chong Peng Manajer Umum Semakau Landfill.

Jangan bayangkan tempat sampah di Singapura sama dengan tempat sampah di Jakarta, yang umumnya berupa sebuah bak penampungan terbuka, atau open dumping, yang biasanya menjadi surga bagi para belatung, lalat, tikus dan pemulung. Tempat sampah yang dimaksud Ong sebuah terowongan yang akan menghisap sampah menuju pusat pengumpulan sampah. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena mayoritas warga Singapura hidup dalam blok-blok apartemen dan rumah susun. Secara bergurau, Wong We Tee pemandu wisata dari Badan Pariwisata Singapura menggambarkannya sebagai: “Orang Singapura tidak bisa hidup berdampingan dengan tetangganya, karena kami hidup bertumpukan (not side by side, but top on top).”

Sampah yang terkumpul kemudian dikirim ke tempat pembakaran sampah atau insenerator. Sampah kemudian dibakar dengan suhu tertentu sehingga menjadi butiran debu dan pasir. Baru kemudian dibawa ke Semakau Landfill dengan menggunakan perahu tongkang,” jelas Ong Chong Peng Manajer Umum Semakau Landfill.

Di daratan, Singapura memiliki empat lokasi pembakaran sampah atau insenerator. Semula, proyek ini mendapatkan penentangan karena dikhawatirkan menimbulkan ancaman terhadap lingkungan hidup, terutama yang diakibatkan dari asap pembakaran sampah. “Untuk mengurangi polusi asap, pembakaran sampah menggunakan gas, yang kami impor dari Indonesia, sementara asap yang keluar telah melalui proses penyaringan sehingga sangat bersahabat dengan lingkungan,” urai Ong. Ong juga menambahkan, proyek Semakau berhasil menambah luas hutan bakau dan memperkaya habitat hewan laut di sekitarnya. “Untuk pengadaan listrik di pulau ini, kami tidak memakai genset, tetapi membangun pembangkit listrik tenaga surya.” Ong memang bangga dengan proyek Semakau sebagai pilot proyek pengelolaan sampah yang berbasis lingkungan hidup.

Semakau kini dapat menampung 1500 ton abu sampah dan 500 ton sampah basah setiap harinya. Dengan kapasitas penampungan mencapai 63 juta meter kubik, Semakau Landfill akan berubah menjadi pulau baru pada tahun 2045. “Di atas pulau ini, Pemerintah Singapura akan membangun real estat, lapangan golf, hutan bakau, serta tempat pariwisata,” kata Tan Wee Hock Direktur Jaringan Sektor Masyarakat, Publik dan Swasta Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura, sambil mengarahkan tangannya menunjuk sudut-sudut Semakau.

Walau proyek Semakau belum selesai, namun tanahnya kini telah dapat dimanfaatkan oleh otoritas Semakau sebagai obyek penelitian dan tempat pelesiran laut dan pantai. “Kami telah membuka Semakau untuk lokasi studi biota laut dan pantai, wisata pemancingan, dan tempat olahraga,” tambah Tan. Itu berarti sumber duit baru. Ibaratnya, sekali mendayung ke Semakau, dua tiga problem teratasi.

ahmad s