Monday, March 23, 2009

Mereka adalah Calon Wakil Kita

Mereka adalah calon wakil kita yang akan mengusung aspirasi dan visi anak negeri. Tetapi, bagaimana kita yakin mereka mampu, jika untuk berkomunikasi dengan rakyat saja mereka masih butuh dibantu?





Tak perlu mencantumkan program dan misi, cukup nama suami.





Jargon oke, pesan jelas. Namun, pencantuman nama bapak dikhawatirkan berdampak kontraproduktif, terutama terhadap pemilih pria remaja dan orang tua yang trauma karena "burungnya" pernah disembelih sang bapak.



Dari selebriti panggung ingin naik kelas menjadi selebriti politik. Tetapi, Nana, siapa lelaki bodoh itu yang begitu teganya meninggalkan perempuan seperti kamu?

Wednesday, March 11, 2009

Mematung Rojali (2)




Kini, aku Rojali masih ingin terus menjadi saksi, bagi kelancaran kendaraan yang penumpang dan supirnya terus melihatku dengan seribu pikiran yang tak kan pernah kutahu.









Rojali namaku. Aku tak tahu kapan aku bisa terus berdiri dan berhenti. Mungkin suatu saat nanti kau tak akan pernah bisa melihatku lagi. Dan aku berharap, pada saat itu, ada sejumput rezeki yang bisa kuhabiskan untuk menunaikan masa tua nanti.

Tuesday, March 10, 2009

Mematung Rojali (1)



Mematung Rojali. Demi tigapuluh ribu rupiah setiap hari. Kutepiskan debu, panas terik, air hujan, dan cercaan pengguna jalan, demi perut istri dan diri sendiri yang tidak pernah bisa diajak kompromi.

border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5311570055130860818" />

Panggil aku Rojali. Aku selalu bersyukur karena masih bisa hidup walau dengan cara yang seperti ini. Walau istriku mungkin tak setuju, tetapi ia tidak pernah melarangku. Karena ia adalah seorang istri yang setia yang yang mau menerima kulit hitamku setelah dipanggang terik matahari dan tetap memelukku setelah badanku basah karena dihajar air hujan sepanjang jalan.




Aku selalu menghormati makanan istriku, seperti ia menghormati diriku. Itu sebabnya kau tidak akan pernah melihatkan menyentuh makanan warung di pinggir jalan, karena aku selalu menyediakan ruang dalam lambungku hanya untuk makanan yang dibuat istriku, walau untuk itu aku harus menahan laparku hingga pukul delapan malam, sejak aku keluar rumah pukul delapan pagi hanya berteman sebotol air mineral.

border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5311570040348700930" />

(bersambung)

Sunday, March 08, 2009

Diceramahi Abdul Hadi Jamal (2)

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengutarakan kesulitannya dalam menghadapi dinamika politik setelah mengikuti proses pencalonannya sebagai legislator untuk daerah pemilihan IV Jawa Tengah yang meliputi tiga kabupaten; Sragen-Wonogiri-Karanganyar. Semua itu, dinilainya, bersumber dari Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai terpilihnya caleg yang ditentukan oleh suara terbanyak. Keputusan ini otomatis menganulir ketentuan sebelumnya di mana caleg terpilih ditentukan atas dasar nomor urut di kertas suara.

"Kok bisa? Bukankah dengan keputusan MK itu, posisi kau yang berada di nomor urut belakang punya peluang lebih besar dari sebelumnya?"
"Iya. Secara positif, bisa dikatakan seperti itu. Namun, eksesnya adalah kita-kita yang berada di nomor urut belakang harus berupaya sekuat tenaga untuk bisa muncul. Belum lagi peta perebutan pengaruh saat ini sudah menjadi melebar. Dulu, kita hanya bertarung dengan parpol lain, sekarang dengan teman sendiri pun kita saling menyikut dan menohok. Seperti sekarang ini, wilayah yang sudah saya prediksi bakal dikuasai, ternyata malah diobok-obok teman sendiri. Dan, saya pikir, fenomena ini juga menimpa rekan-rekan caleg dari parpol lain. Keputusan MK ini juga menjadikan caleg dengan dana kampanye yang terkuatlah yang mampu mengonsolidasikan kekuatannya secara baik. Bisa dibilang Pemilu 2009 ini sebagai Pemilu Kapitalisasi. Pemilu untuk para pemilik modal dan dana."
"Kok bisa begitu?"
"Waktu saya masuk kabupaten Wonogiri seminggu lalu, saya ditawari seorang tokoh DPC (daerah pengurus cabang, red) Wonogiri, jika ingin menang cukup memberinya uang 50 juta untuk satu kecamatan di wilayah Wonogiri. Dengan uang itu, ia menjamin seluruh kader dan simpatisan partai akan mencontreng nama saya. Di Wonogiri itu ada 25 kecamatan, jika saya mengikuti ucapannya maka saya harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 1,25 milyar. Itu hanya untuk satu Wonogiri, belum Karanganyar dan Sragen. Saya sendiri menolak tawaran tersebut, karena memang tidak punya uang sebanyak itu. Entah kalau caleg yang lain. Tiga caleg di atas saya (dari parpol yang sama, red), dua di antaranya adalah pengusaha ternama. Kader modal semangat dan loyalitas kayak saya ini paling-paling hanya bisa pasrah saja."
"Wah, kok sudah separah itu, ya? Saya khawatir, para caleg yang terpilih dengan peraturan baru ini nantinya akan lebih lebih berkonsentrasi untuk mengembalikan modal kampanyenya ketimbang memenuhi aspirasi konstituennya."
"Begitulah. Menurut saya, seharusnya putusan MK ini dikeluarkan jauh hari sebelum masa kampanye di mulai. Ini untuk memudahkan para kader parpol memperkenalkan diri kepada konstituen. Kalau seperti ini, yang terjadi adalah siapa yang modalnya kuat dialah yang paling bisa mendekat ke rakyat."
"Lalu, apa peran DPP?"
"Nah, ini yang menggelikan. Tentu saja, DPP mempunyai peran bagi mereka yang memegang uang atau mereka yang dekat secara pribadi dengan figur di DPP. Mereka itulah yang digadang-gadang orang DPP ke basis-basis kader atau konstituen, sementara kami-kami ini dianggurkan. Yang lucunya lagi, kemarin itu, kami sempat dikumpulkan oleh pihak DPP dan DPD, mereka meminta para caleg untuk urunan buat membayar uang lelah para saksi-saksi di TPS. Tentu saja banyak yang keberatan. Waktu kampanye seperti sekarang ini kami tidak banyak dibantu, tetapi untuk masalah itu kami diminta urunan."

Dari penjelasan sang teman tersebut, saya bisa memahami mengapa uang memegang peranan penting dalam kampanye pemilu kali ini. Tentu, tidak terlalu sulit menghubungkan antara kebutuhan logistik kampanye dengan masalah kriminal yang membekap para caleg-caleg yang sudah tertangkap. Persoalannya, apakah para pengambil kebijakan di negeri ini sudah menginsyafi jika semua sendi di negara ini telah mengalami komersialisasi dan komodifikasi, termasuk Pemilu tahun ini. Atau dalam bahasa teman saya itu sebagai Pemilu Kapitalisasi. Saya sendiri lebih senang dengan ungkapan satir orang Tapanuli: hepeng mangatur nagaraon.

Saya mengenal AHJ karena profesi. Sebagai jurnalis saya sering berhubungan dengan AHJ, walaupun hanya melalui telephon. Kadang untuk keperluan wawancara dan pembuatan program saya harus menelephonnya lewat dari pukul 10 malam. AHJ sendiri tidak pernah merasa keberatan dengan telephon-telephon dari saya itu. Ia selalu mengangkat dan menjawabnya, walau posisinya berada di Makasar Sulawesi Selatan atau pukul 11 malam waktu setempat. Dalam perbincangan, kami tidak melulu membicarakan mengenai topik wawancara atau program. Ada juga kami berbicara mengenai hal lain. Dari situ dapat saya pahami jika AHJ termasuk legislator yang responsif untuk konstituennya di Sulawesi Selatan dan cukup mumpuni untuk permasalahan yang menjadi tugasnya di DPR, yaitu komisi perhubungan dan transportasi.

Tetapi persepsi saya mengenai AHJ itu terjadi dua atau tiga bulan sebelum yang bersangkutan ditangkap karena diduga terlibat suap. Sekarang persepsi di kepala saya pun bertambah mengenai AHJ. Tidak hanya itu, persepsi saya mengenai Pemilu 2009 pun semakin banyak pula. Jika, menuruti analisis Arbi Sanit, AHJ mungkin saja tidak mendekam di sel tahanan KPK jika ia tidak lagi mencalonkan diri sebagai anggota DPR lagi. Ia saat ini mungkin sedang bercengkrama dengan anggota keluarga atau dengan para cucu tercinta.

Tetapi untunglah ada kasus AHJ (dan juga caleg-caleg yang tertangkap karena diduga terlibat kriminal dengan motif ekonomi). Karena AHJ dan mereka semua telah menceramahi kita jika komodifikasi, komersialisasi, kapitalisasi, materialisasi, dan apapun namanya telah merasuki hati dan pikiran kita untuk memenuhi semua tuntutan itu dengan apapun caranya, walaupun mencuri. Pemilu yang dikomersialisasi telah menjadi bukti.

8 Maret 2009

Wednesday, March 04, 2009

Diceramahi Abdul Hadi Jamal (1)

Ini pengalaman purba yang kini menjadi pepatah bijak: jangan mengambil kesimpulan hanya melalui pandangan. Mata bisa menipu, itu kata orang tua kita dulu, maka hentikan menilai orang hanya karena baju yang dipakainya. Orang bule juga sepakat dengan ini, mereka juga punya petuah yang bunyi dan maknanya sama: don’t judge a book by its cover. Dalam bahasa dogma, kita diingatkan untuk tidak suudzzhon (berprasangka buruk) terhadap sesama mahluk hidup.

Mungkin begitu pula seharusnya kita memperlakukan Abdul Hadi Jamal (AHJ). Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI yang tertangkap tangan oleh KPK sedang menerima suap pada Senin (2/3) malam kemarin. Terlalu dini jika kita menghakimi AHJ sebagai koruptor. Karena memang belum ada keputusan inkrach yang menetapkan dirinya adalah koruptor.

Namun, bagaimanapun, penangkapan AHJ telah menambah daftar panjang para caleg yang tertangkap karena terlibat tindak kriminal. Anda tahu, sebelum kasus AHJ, di Jembrana Bali seorang caleg ditangkap polisi karena diduga terlibat kasus illegal logging atau pembalakan liar (1/3). Demikian pula di Riau, seorang caleg perempuan ditangkap petugas ketika kedapatan membawa sekitar 1000 butir pil ekstasi (13/2).

Yang paling menggelikan adalah kejadian di Pulogadung Jakarta Timur. Seorang caleg dibekuk polisi karena tertangkap tangan hendak mencuri motor (15/2). Menanggapi peristiwa ini, seorang pengurus cabang dari partai tempat si caleg tersebut berasal berkilah, jika HS, nama caleg tersebut, bukan mencuri, tetapi salah ambil motor. Padahal, dari penjelasan pihak kepolisian, sebagaimana disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya, diketahui jika HS tidak bisa mengendarai motor.

"Kamu ini kan caleg. Calon anggota dewan yang terhormat, tetapi mengapa kamu mencuri motor?"
"Saya tidak mencuri motor. Saya hanya salah ambil motor."
"Memangnya kamu punya motor?"
"Eeh..uuh..Tidak, Pak."
(ilustrasi diperankan oleh model)

Walau semua perkara kriminal yang melibatkan para calon wakil rakyat tadi belum diputus oleh hakim, namun motivasi dari semua pelanggaran hukum yang dilakukan para caleg tadi bisa jadi lantaran faktor ekonomi karena masalah pencalegan. Arbi Sanit bilang penangkapan AHJ besar kemungkinan didasari motivasi untuk memperkuat logistik kampanyenya (detikcom, 4/3). Ke arah itulah tulisan ini akan mengalir.

Tuesday, March 03, 2009

David Hartanto dan 9 Orang Singapura

Berita mengejutkan itu tersiar pada Senin (2/3) siang. Seorang mahasiswa asal Indonesia bernama David Hartanto Wijaya menikam dosen pembimbingnya Profesor Chan Kap Luk dan kemudian melakukan bunuh diri dengan melompat dari sebuah gedung di kompleks Nanyang Technology University (NTU). Bukan hanya cara kematiannya yang menggemparkan, pelaku dan korban peristiwa itu juga bukan orang sembarangan.

Selain pintar, David adalah orang baik-baik. Sesama temannya mengenangnya sebagai mahasiswa yang ramah dan menyenangkan. Mendiang juga adalah anggota kontingen Olimpiade Matematika Indonesia di Meksiko pada tahun 2005. Sementara Profesor Chan juga tidak pernah memiliki catatan buruk dalam bidang pendidikan, setidaknya itulah yang terekam dalam profil dosen tersebut di situs milik NTU.

Jika keduanya adalah orang baik-baik, lalu mengapa bisa terjadi peristiwa ini? Dengan kata lain, apa motivasi David menikam Prof Chan lalu mengakhiri hidupnya di kampusnya sendiri? Inilah yang masih menjadi teka-teki dan kini menjadi perhatian utama para polisi. Pers dan konsumen berita di Indonesia hanya bisa mengikutinya dari pinggir lapangan karena tempat kejadian perkara terletak nun jauh di negeri seberang.

Karena tidak bisa mengikuti secara langsung proses penyelidikan, maka teori mengupas berita seperti makan bubur panas pun dicoba. Anda tahu, jika ingin menyantap bubur panas-panas karena lapar sudah tak bisa dijinakkan, cara yang terbaik adalah dengan menyendok pinggir-pinggirnya lebih dulu karena lebih dingin dari pada yang di tengah mangkuk. Program Seputar Indonesia di RCTI, misalnya, melakukan hal itu pada Selasa (3/3) sore. Wartawannya mewawancarai seorang pakar sekaligus praktisi pendidikan DR Arif Rahman Hakim untuk mengomentari peristiwa tragis itu.

Dalam salah satu asumsinya, Arif Rahman memaparkan jika peristiwa itu bisa saja terjadi karena minimnya olah hati dan rasa. Ditambah beban akademis yang sedemikian besar, yang umumnya menjadi tekanan bagi mahasiswa pada kampus-kampus favorit –NTU adalah satu dari seratus kampus terbaik di dunia—maka sangat mungkin terjadi, depresi mengakhiri klimaksnya dengan bunuh diri. Dengan kata lain, bisa disimpulkan untuk sementara jika mendiang David melakukan hal itu dalam kondisi kejiwaan yang lara alias tidak bahagia.

Padahal, David tinggal di Singapura. Negara di mana 9 dari 10 penduduknya merasa optimis dan hidup berbahagia. Setidaknya itulah klaim yang disampaikan oleh Ngiam Shih Chun dan Lee Tze Hao, keduanya adalah pejabat setingkat direktur dari Kementerian Pengembangan Komunitas, Pemuda dan Olahraga Singapura di depan para peserta Indonesian Journalist Visit Programme, pada akhir 2008 kemarin. Klaim itu menyandarkan data pada hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian itu mengenai perilaku sosial warga Singapura, pada tahun 2007. “Mengapa warga Singapura merasa bahagia? Lantaran mereka hidup dalam kesejahteraan, keharmonisan dan keteraturan,” demikian jelas Ngiam Direktur Bagian Hubungan dan Penguatan Komunitas pada waktu itu.

Memang amat sulit untuk menampik pengakuan Ngiam, yang sedikit melemahkan kebanggan kita akan Indonesia, yang dasarnya memang sudah lemah, itu. Kita, di Indonesia hanya tidak punya kesejahteraan untuk bisa sama-sama merasakan kebahagiaan seperti yang dialami 90 persen dari 3,8 juta warga Singapura. Dua faktor kebahagiaan yang dimiliki Singapura juga ada di Indonesia. Singapura dan Indonesia adalah dua negeri yang warganya bisa berbeda-beda secara harmonis. Demikian pula dengan keteraturan, jika di Singapura semua berlangsung secara teratur, maka di Indonesia semua bisa diatur. Sebuah lelucon yang tentu menjadi menyebalkan di tengah berita kedukaan.

Oh iya, kita kembali lagi ke masalah kebahagiaan. “Jika 9 dari 10 orang Singapura dinyatakan hidup berbahagia, lalu mengapa yang satu itu tidak berbahagia?” demikian tanya salah satu teman pada saat itu kepada Ngiam. Menanggapi pertanyaan itu, Ngiam mati kutu. Rupanya makalah yang mungkin ditulis anak buahnya tidak menampilkan data survei yang detail. Ia hanya berkilah, pastilah si responden yang tidak bahagia itu memiliki perasaan yang berkebalikan dengan sembilan orang lainnya.

Lalu, apakah David termasuk di antara satu dari sepuluh orang Singapura yang tidak bahagia? Tentu saja bukan. Alasannya jelas, David bukanlah warga negara Singapura. Mendiang tentu bukan salah satu responden yang disasar secara acak oleh lembaga survei tadi. Tidak hanya itu, di luar bebannya sebagai mahasiswa NTU, David pastilah menjalani kehidupan yang bahagia, atau setidaknya sejahtera. Tengok saja latar pendidikan yang dijalani David. Selain kuliah di NTU, David adalah juga alumni SMAK 1 BPK Penabur. Tidak sembarang orang bisa menuntut ilmu di sekolah yang banyak melahirkan juara olimpiade internasional di bidang ilmu pengetahuan itu. Jika Anda kembali bertanya, lalu apa sebenarnya yang menjadi motivasi tindakan mendiang David? Mau tahu jawabannya? Sabar ya, buburnya masih panas.

2 Maret 2009

Monday, March 02, 2009

Pelajaran dari Singapura Buat Para Caleg Kita

Dalam Program Kunjungan Jurnalis Indonesia ke Singapura pada akhir tahun 2008 yang lalu, elit politik Singapura membeberkan program politik mirip pelayanan sosial kepada konstituennya atau Meet-the-People Session. Mudah-mudahan bisa dicontoh para caleg yang saat ini sedang berebut suara pemilih.

Sore baru saja bertemu malam. Namun, selasar di lantai dasar rumah susun yang terletak di Woodlands Drive Singapura, Selasa malam (28/10) itu sudah disesaki tigapuluhan warga, dengan usia rata-rata di atas 30 tahun. Sambil duduk-duduk banyak dari mereka yang menyibukkan diri dengan membaca, atau menyumpal kuping dengan earphone untuk mendengarkan alunan musik. Ada pula yang terlibat percakapan sambil berdiri. Itu mereka lakukan sambil mengantri tertib menunggu panggilan. Satu per satu dari mereka dipanggil dan memasuki sebuah ruangan, yang sebenarnya adalah ruang kelas Woodlands Kindergarten. Namun, panjang antrian tidak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Karena jumlah yang pulang tidak sebanding dengan warga yang datang.

Antrian itu bukan untuk menunggu pemeriksaan dokter. Atau untuk mendapatkan bantuan langsung tunai seperti di Indonesia. Mereka adalah warga yang ingin memecahkan masalah hidup yang dihadapi sehari-hari. Untuk itu mereka berharap bisa bertemu langsung dengan anggota Parlemen Singapura Dr Mohammad Maliki bin Osman.

Inilah Meet-the-People Session MPS). Program politik milik People Actian Party (PAP), partai pemegang mayoritas tunggal Singapura. MPS mengharuskan anggota Parlemen PAP untuk melayani rakyat secara langsung. Anggota parlemen itu harus rela mendengar, bahkan mencarikan jalan keluar dari kebuntuan yang menjadi masalah rakyat. Mulai dari persoalan internal suami istri hingga ketegangan yang terjadi antartetangga. Mulai dari soal kesulitan membayar tagihan listrik atau telpon atau mencicil kredit apartemen hingga masalah orangtua yang tidak mampu membeli buku atau bahkan susu untuk anaknya.

Ini tentu berbeda dengan temu kader seperti yang dilakukan para wakil rakyat dari DPR RI, kala reses. Jika temu kader berlangsung seperti rapat massal yang diselenggarakan dalam tempo singkat dengan cara tidak seksama, maka MPS berjalan rutin, seminggu sekali. Kecuali hari-hari libur nasional, tentunya. Hebatnya lagi, dalam menjalani MPS anggota Parlemen akan bertemu empat mata dengan rakyatnya dengan waktu pertemuan yang relatif. Bergantung dari besar kecilnya masalah yang dibawa sang rakyat. Jadi, mirip praktik dokter, tidak hanya memberikan diagnosa namun juga mengobati derita.

“Jika melihat animo masyarakat yang seperti ini, pertemuan bisa berlangsung hingga pukul satu dinihari,” jelas Justus Chua. Justus adalah satu dari 15 relawan yang malam itu membantu Dr Maliki menemui warga sejak pukul tujuh malam waktu setempat. Bersama sepuluh relawan lainnya, Justus kebagian tugas mencek rekam jejak warga yang ingin berkonsultasi dan menyeleksi kadar persoalan. “Kalau persoalannya ringan, saya bisa memberikan saran dan jalan keluar sesuai keperluan, namun jika sudah kelewat berat dan butuh kebijakan dari atas, Saya akan menyerahkannya ke Mr. Maliki”. Sementara, lima rekan Justus yang lain bertindak sebagai tenaga administrasi yang mencatat dan mendata identitas warga ke dalam sebuah kartu. Bentuk dan fungsi kartu ini mirip dengan rekam medis pasien rumah sakit.

“Kartu ini akan saya isi dengan keluhan warga,” terang Justus sambil menunjukkan selembar kertas tebal bergaris-garis berwarna biru. Jika dalam sebulan kartu sudah terisi penuh, itu berarti warga tadi selalu datang membawa keluhan setiap minggu. “Terhadap warga yang seperti itu, kami tidak akan berikan pelayanan lagi. Kecuali, warga itu datang dengan masalah yang berbeda.”

Tetapi, bagaimana jika ternyata anggota parlemennya yang tidak datang dalam MPS? “Selain akan ditegur oleh partai, anggota parlemen yang seperti itu tentu tidak akan dipilih lagi oleh rakyat,” tambah Justus, yang adalah Sekretaris Cabang PAP untuk Admiralty Sembawang. Pada pemilu 2006 lalu , Dr Maliki dipilih oleh mayoritas warga blok rumah susun Woodlands Drive yang termasuk dalam daerah pemilihan Admiralty dari Kelompok Perwakilan Konstituen Sembawang. Untuk memelihara dukungan warga, maka ia harus bekerja keras. Apalagi para pemilih di Singapura sudah rasional dan berasal dari latar yang multikultur dan multirasial.

Justus mengaku jika seluruh relawan yang terlibat dalam MPS tidak dibayar satu senpun. Namun, bukan berarti jerih payah Justus dan rekan-rekan akan berakhir sia-sia. Semua yang dilakukannya akan diganjar kompensasi berupa kondite untuk meningkatkan karir politiknya di PAP. Itu sebabnya, kegiatan ini tidak pernah kekurangan tenaga relawan.

Banyaknya bantuan relawan ternyata tidak membuat Maliki, sang anggota parlemen, hanya ongkang-ongkang kaki. Saat bertemu rakyat, ia harus mampu menjadi guru, bapak, sahabat, atau bahkan kepala lingkungan. Selain menjadi motivator, Maliki juga harus pandai menjadi mediator, jika terjadi masalah pelik antara warga dengan suatu institusi.

Seperti saat itu, seorang ibu berusia sekitar 50 tahun dari etnis Tionghoa datang mengadu kepadanya. Sambil menunjukkan sebuah surat peringatan dari pihak bank, ia bercerita jika sudah dua bulan terakhir ini tidak mampu membayar cicilan kredit rumah tokonya pada sebuah bank. Kondisi itu terjadi, akibat sang suami sedang sakit keras sehingga memperkecil penghasilan dan memperbesar pengeluaran. Setelah proses tanya jawab dan hitung-hitungan, yang semuanya dilakukan dalam bahasa Mandarin dan sedikit bahasa Inggris, karena hanya bahasa itu yang dikuasai wanita tadi, selama sekitar lima belas menit, Maliki menyarankan kepada wanita itu untuk menemui pihak bank secara langsung agar mendapatkan keringanan. Sambil tersenyum, ibu itu mengangguk setuju dengan jalan keluar yang disampaikan Maliki. “Jika belum selesai, datanglah kemari seminggu lagi,” kata Dr Maliki yang menguasai tiga bahasa: bahasa Inggris, Melayu dan Mandarin.

Selesai dengan ibu tadi. Giliran seorang perempuan muda dari etnis Melayu mendatanginya dengan wajah sendu. Ia dan empat orang saudaranya yang masih sekolah sudah menumpuk tagihan listrik, gas dan telpon selama dua bulan. "Suami saya di Johor (Malaysia, red.). Sudah empat bulan ini, ia tidak mengirim uang. Katanya, usahanya mau bangkrut." Sementara, kedua orang tua sudah lama tiada. "Kalau untuk memenuhi kebutuhan saja, saya masih bisa. Tapi, kalau untuk membayar seluruh tagihan, jelas tidak bisa," tambahnya. Memecahkan persoalan seperti itu, Maliki bertanya berapa uang yang bisa didapatkan perempuan itu dalam sebulan dan jumlah pengeluaran yang harus dibayar. Setelah proses hitung-menghitung selesai, Maliki berkesimpulan: "Untuk menunjukkan kalau kamu punya niat baik membayar tagihan, cobalah menekan pengeluaran bulanan. Jika ada sisa simpanlah untuk membayar jumlah tagihan yang belum terbayar. Itu untuk menunjukkan jika kamu punya niat baik untuk membayar." Sempat berdebat sebentar, namun perempuan tadi akhirnya setuju dengan jalan keluar itu.

Dalam beberapa kasus, jika warga yang datang kepadanya membutuhkan obat atau makanan dengan segera, maka Maliki akan mengeluarkan voucher yang selembarnya bernilai sepuluh dolar Singapura (atau setara dengan tujuh puluh ribu rupiah). Untuk menghindari pemberian bantuan yang salah sasaran, relawan yang bertugas akan mendatangi rumah warga. “Voucher juga tidak boleh dipergunakan untuk membeli rokok dan minuman beralkohol," tegas Maliki. Maliki memang harus berhati-hati dalam mengeluarkan voucher. Itu sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada si pemberi voucher. “Voucher ini didapat dari perusahan swasta yang menyelenggarakan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, red.).”

Ketika perbincangan berlangsung, tanpa sadar tumpukan kartu biru di mejanya mulai menebal. Itu artinya antrian warga yang harus dilayaninya sudah semakin bertambah. Dr Maliki mengisyaratkan untuk segera bekerja lagi, mungkin hingga pukul satu dinihari.

ahmad s
(tulisan ini juga dimuat pada Majalah Elshinta edisi Agustus 2008)

Mengapa Sulit Menemukan Sampah di Kota Singapura?

Singapura yang menyandarkan sebagian pendapatan devisanya kepada pariwisata nonkonvensional menanggulangi sampah dengan cara yang luar biasa. Uang bernilai hampir lima trilyun rupiah digelontorkan hanya untuk membangun megaproyek antisampah. Hasilnya ternyata juga ruuuarr biasa.

Bagi kota-kota besar dengan jumlah penduduk yang sesak, sampah adalah momok yang menyebalkan sekaligus mengkhawatirkan. Sebal, karena bau dan pemandangan yang ditimbulkannya. Khawatir, sebab masalah sampah sudah menimbulkan kematian dan bencana. Itu pernah terjadi di tempat pembuangan akhir sampah di Leuwigajah Kota Cimahi dan TPA Bantargebang Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

Di Singapura, soal sampah kini telah punah sejak tempat pembuangan akhir Semakau atau Semakau Landfill dibangun pada April 1995. Megaproyek yang bentuknya seperti atol atau pulau karang berbentuk cincin itu sejatinya berada di antara pulau Semakau dan pulau Sakeng. Dengan menumpang perahu motor dari Pelabuhan Penyeberangan Pasir Panjang, perjalanan menuju Semakau Landfill memakan waktu sekitar 20 menit. Pulau Semakau yang merupakan gugusan dari pulau-pulau mungil di selatan perairan Singapura, terletak 8 kilometer jaraknya dari daratan Singapura. Dari atas pulau sampah ini, pulau Batam dan pulau-pulau terluar milik Indonesia terlihat dengan jelas.

Walau menjadi tempat pembuangan akhir, di Semakau Landfill tidak akan ditemukan sedikitpun sampah yang dibawa dari daratan Singapura. Semua sampah kering telah berubah bentuk menjadi butiran debu dan pasir. Sementara untuk sampah basah telah berubah menjadi kompos. Untuk melakukan itu semua, manajemen Semakau Landfill yang berada di bawah Dewan Lingkungan Hidup Nasional Singapura telah mengeluarkan kebijakan integratif. “Pengelolaan sampah kami mulai sejak keluar dari rumah-rumah. Sampah domestik itu harus telah dipilih dan dipilah oleh warga sebelum dibuang ke tempat sampah.”jelas Ong Chong Peng Manajer Umum Semakau Landfill.

Jangan bayangkan tempat sampah di Singapura sama dengan tempat sampah di Jakarta, yang umumnya berupa sebuah bak penampungan terbuka, atau open dumping, yang biasanya menjadi surga bagi para belatung, lalat, tikus dan pemulung. Tempat sampah yang dimaksud Ong sebuah terowongan yang akan menghisap sampah menuju pusat pengumpulan sampah. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena mayoritas warga Singapura hidup dalam blok-blok apartemen dan rumah susun. Secara bergurau, Wong We Tee pemandu wisata dari Badan Pariwisata Singapura menggambarkannya sebagai: “Orang Singapura tidak bisa hidup berdampingan dengan tetangganya, karena kami hidup bertumpukan (not side by side, but top on top).”

Sampah yang terkumpul kemudian dikirim ke tempat pembakaran sampah atau insenerator. Sampah kemudian dibakar dengan suhu tertentu sehingga menjadi butiran debu dan pasir. Baru kemudian dibawa ke Semakau Landfill dengan menggunakan perahu tongkang,” jelas Ong Chong Peng Manajer Umum Semakau Landfill.

Di daratan, Singapura memiliki empat lokasi pembakaran sampah atau insenerator. Semula, proyek ini mendapatkan penentangan karena dikhawatirkan menimbulkan ancaman terhadap lingkungan hidup, terutama yang diakibatkan dari asap pembakaran sampah. “Untuk mengurangi polusi asap, pembakaran sampah menggunakan gas, yang kami impor dari Indonesia, sementara asap yang keluar telah melalui proses penyaringan sehingga sangat bersahabat dengan lingkungan,” urai Ong. Ong juga menambahkan, proyek Semakau berhasil menambah luas hutan bakau dan memperkaya habitat hewan laut di sekitarnya. “Untuk pengadaan listrik di pulau ini, kami tidak memakai genset, tetapi membangun pembangkit listrik tenaga surya.” Ong memang bangga dengan proyek Semakau sebagai pilot proyek pengelolaan sampah yang berbasis lingkungan hidup.

Semakau kini dapat menampung 1500 ton abu sampah dan 500 ton sampah basah setiap harinya. Dengan kapasitas penampungan mencapai 63 juta meter kubik, Semakau Landfill akan berubah menjadi pulau baru pada tahun 2045. “Di atas pulau ini, Pemerintah Singapura akan membangun real estat, lapangan golf, hutan bakau, serta tempat pariwisata,” kata Tan Wee Hock Direktur Jaringan Sektor Masyarakat, Publik dan Swasta Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura, sambil mengarahkan tangannya menunjuk sudut-sudut Semakau.

Walau proyek Semakau belum selesai, namun tanahnya kini telah dapat dimanfaatkan oleh otoritas Semakau sebagai obyek penelitian dan tempat pelesiran laut dan pantai. “Kami telah membuka Semakau untuk lokasi studi biota laut dan pantai, wisata pemancingan, dan tempat olahraga,” tambah Tan. Itu berarti sumber duit baru. Ibaratnya, sekali mendayung ke Semakau, dua tiga problem teratasi.

ahmad s