Saturday, May 16, 2009

Tiga (Pasang) Menguak Takdir

Usai sudah episode pertama dari rangkaian megasinetron politik pemilu presiden yang akan berlangsung 8 Juli nanti. Tiga pasang capres dan cawapres sudah memasuki arena pertarungan yang digelar oleh KPU, pada Sabtu (16/5) siang. Mudah-mudahan persiapan pemilu presiden tahun ini cukup baik dan matang, dan tidak seperti ketika pemilu legislatif digelar yang banyak mengundang makian dan hujatan. Banyak kalangan khawatir jika pemilu presiden kualitasnya sama dengan pemilu legislatif, bahkan lebih buruk, maka Indonesia bisa terjebak dalam pusaran arus krisis politik seperti yang dialami Thailand.

Kita tentu sulit meramalkan siapa yang akan menjadi pemenang. Bendera start tanda pertarungan akan dimulai, belum lagi dikibarkan. Namun, kita mungkin sudah tahu kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing pasang capres dan cawapres. Lewat internet, rekam jejak ketiga pasang ini sangat mudah diakses oleh publik. Walaupun data itu mungkin harus divalidasi terlebih dahulu. Berbagai polling dan survei juga telah digelar. Hasilnya pun sudah dipublikasi lewat media massa. Ada pasangan yang menang survei di lembaga tertentu, pasangan lainnya menang polling di institut riset anu. Mengenai hasil survei dan polling ini, Susilo Bambang Yudoyono, dalam pernyataannya sebelum mendaftarkan diri sebagai pasangan capres dari partai Demokat dan koalisinya, menyayangkan jika pada tahapan pemilu presiden nanti ada lembaga tertentu yang melakukan survei dengan hasil yang sudah dipesan terlebih dahulu. Kita tahu kekecewaan yang sama juga pernah disampaikan oleh Megawati Kiemas sesaat sebelum pemilu legislatif berlangsung.

Yang bisa disimpulkan dari semuanya adalah; kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh tiga pasang capres dan cawapres ini masih fluktuatif. Tidak ada yang dominan, semua masih relatif. Serba nisbi. Jadi, jika saat ini anda bukan seorang politisi namun sudah memiliki keyakinan terhadap pasangan tertentu dan memasang uang taruhan yang sangat besar untuk kemenangan pasangan itu, saya berharap dewi keberuntungan sedang menyukai anda sehingga anda bisa memenangi uang taruhan itu.

Katakanlah anda adalah seorang penggemar fanatik JK-Win, pasangan yang pertama mendaftarkan diri ke KPU secara resmi. Apakah anda masih optimis pasangan ini mampu memenuhi impian anda sebagai presiden periode mendatang, jika mengingat biduk Partai Golkar sempat terpecah dalam kepingan yang menginginkan partai mereka sebagai partai pemerintah dan kepingan lain sebagai partai oposisi. Saya ingat dalam salah satu wawancara, fungsionaris Partai Golkar Yorrys Raweyai mengungkapkan, jika sejak kelahirannya Golkar tidak pernah menjadi partai oposisi. Itu artinya ada ambiguitas di dalam internal Partai Golkar. Kalaupun sekarang ambiguitas itu perlahan mulai menghilang, problem lain yang harus dihadapi Partai Golkar dalam pencapresan JK-Win kali ini adalah mesin politik partai tersebut. Kita tahu, dalam pemilihan kepala daerah kekuatan Golkar berada di bawah PDI Perjuangan, sementara pada pemilu legislatif partai berwarna kuning ini di bawah Partai Demokat.

Bagaimana dengan anda yang menggadang-gadang pasangan Mega-Bowo, sang kuda hitam? Saya katakan kuda hitam karena dari berbagai polling dan survei serta kalkulasi politik yang dilakukan secara sumir tak satupun yang bisa mengunggulkan pasangan ini dari pasangan lainnya. Jika para kader dan simpatisan PDIP dan Partai Gerindra ogah untuk bekerja keras, sekeras-kerasnya, sebagaimana amanat Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Kiemas, pada peresmian pasangan itu di kediamannya jalan Teuku Umar Jakarta, Jumat malam (15/5) maka sulit bagi pasangan ini untuk memenangkan hati rakyat.

Apakah itu berarti anda yang menjagokan SBY-Berbudi sudah bisa menepuk dada dan berkata kemenangan kami sudah di depan mata? Belum tentu juga. Pasangan ini harus membenahi persekutuan di antara mereka sendiri, karena koalisi setengah hati. Bahkan, ketika pasangan ini sudah datang ke KPU, dikabarkan jika salah satu pilar koalisinya Partai Amanat Nasional belum menandatangani kontrak perjanjian koalisi. Tidak hanya itu, kita tahu pemilu-pemilu di era reformasi telah menghasilkan anomali. Pemenang pemilu legislatif ternyata tidak serta merta bisa menjadikan kadernya sebagai Presiden Republik ini. Pemilu 1999 yang dimenangi PDI Perjuangan, menghasilkan Gus Dur sebagai presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa. Pemilu legislatif 2004 yang dimenangi Partai Golkar, juga idem. Presiden hasil pemilu di tahun yang sama adalah SBY-JK. Bagaimana dengan tahun 2009? Apakah Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu legislatif bisa menangkis kutukan partai pemenang pemilu legislatif pada dua pemilu sebelumnya pada pemilu tahun ini? Mari kita saksikan bersama tiga pasang capres-cawapres itu menguak takdir mereka sendiri.

Friday, May 15, 2009

Resan Air ke Air, Resan Minyak ke Minyak

Kalian tahu apa yang terjadi dengan keenam kawan kami yang memberanikan diri menjadi caleg dari sejumlah parpol pada pemilu kemarin hari? Mereka, seperti yang sudah diprediksi secara tersirat dalam tulisan sebelumnya (Baca: Caleg Gila dan Simple Plan), akhirnya rontok satu persatu. KPU tidak menyebut nama-nama keenam kawan kami itu ketika membacakan pengumuman penetapan perolehan kursi dari 9 parpol yang lolos parliamantary treshold. Begitu juga dengan kawan kami yang menjadi caleg partai pemenang pemilu legislatif 2009 ini (Partai Demokrat) untuk menduduki kursi DPRD Kabupaten Tangerang Banten ternyata setali tiga uang dengan yang lainnya. Padahal di tempat itu Demokrat bisa dibilang menang cukup telak. Tidak hanya itu. Sejumlah aktivis eksponen 98, 90-an, dan 80-an yang kami ketahui ikut mengundi peruntungan politik mereka pada pemilu legislatif tahun ini juga bernasib idem. Sama-sama apes. Sama-sama terpuruk.

Walau begitu, kami tetap menakzimkan mereka. Karena mereka telah memilih untuk berjuang meretas jalan menuju kekuasaan dan tetap tegar walau gagal. Kami malah bersyukur. Karena tidak ada yang harus menjalani terapi atau berobat ke rumah sakit jiwa akibat depresi dan gangguan jiwa yang dialami karena utang yang tidak mampu dibayar. Atau malu karena terlanjur berkoar-koar di depan banyak orang. Kami juga tidak perlu repot-repot untuk membantu menarik atau meminta kembali sejumlah sumbangan seperti sarung, kopiah, sajadah, kaos, karpet, dan lain sebagainya dari para warga yang menjadi konstituen mereka. Karena mereka memang tidak pernah menyumbang atau memberikan barang-barang seperti itu ketika musim kampanye kemarin.

Jelas sudah. Perjamuan terakhir di kafe Cikini Jakarta yang kami selenggarakan semalam sebelum hari penandaan ternyata ada gunanya juga untuk mereka. Ketika satu persatu kawan-kawan mantan caleg itu kami hubungi pascapenetapan penghitungan suara manual di KPU beberapa waktu lalu (dan panggilan lewat telpon itu kami ulangi lagi ketika KPU melakukan perubahan perolehan kursi, Rabu atau 13/5) tetap saja tidak ada yang berubah dengan kondisi mental mereka. Semua tetap seperti sedia kala. Sebelum tak genap, setelah tak ganjil.

Kalaupun ada yang berubah pascapemilu legislatif adalah bahwa pada saat ini kami menjadi sering bertemu, bahkan bisa dibilang pertemuan rutin. Setiap Kamis malam pertemuan itu dilakukan di sebuah gedung di Jakarta Selatan dengan agenda pembahasan menyikapi kondisi mutakhir. Jadi ini semacam forum diskusi-kontemplasi-yang-diharapkan-berakhir-dengan-aksi. Setelah saya pikir-pikir apa yang terjadi pada saat ini adalah buah dari perjalanan politik keenam kawan kami. Saya lebih senang menganggapnya sebagai hikmah. Dan forum Kamis malam itu adalah hikmah pertama.

Hikmah kedua, adalah kami, dengan pengalaman yang disampaikan oleh kawan-kawan kami itu, menjadi lebih tahu bahwa dunia politik praktis memang sarat dengan kepentingan-kepentingan sesaat yang dijalankan dengan cara-cara yang sesat. Betapa tidak. Dua orang kawan kami yang mendapatkan suara cukup signifikan pada sebuah parpol besar ternyata kalah karena tiba-tiba jumlah suaranya menciut, sementara caleg yang dijagokan oleh lingkaran dalam struktur parpol tersebut (tentu dengan sejumlah alasan; seperti uang dan imbalan tertentu) berhasil lolos ke Senayan.

Seorang kawan kami yang lain juga mengalami nasib yang sama. Suara yang dengan susah payah ia kumpulkan berpindah ke caleg yang lain setelah penghitungan dilakukan di tingkat panitia pemilihan kecamatan. Memang sulit bagi kami untuk membenarkan ataupun menganggap cerita kawan-kawan kami itu adalah rekaan, sebagai sekadar dalih bahwa kekalahan mereka karena dicurangi. Walau tidak mampu mengadakan verifikasi atas semua cerita-cerita itu, namun kami tetap yakin jika ada yang tidak beres dengan kondisi perpolitikan di tubuh parpol-parpol kita. Selain itu, kami percaya karena kawan-kawan kami ini bukanlah pengurus PSSI yang punya hobi menyalahkan faktor eksternal ketimbang melakukan introspeksi diri.

Hikmah yang ketiga, adalah bahwa kami telah diajari betapa uang dan kekuasaan seperti dua sisi mata koin. Memiliki salah satunya sisinya niscaya akan menikmati satu sisi yang lainnya. Keduanya adalah simbol kesuksesan duniawi yang hakiki. Dan kawan-kawan kami telah dikalahkan karena minimnya dua sumber daya ini; uang dan kuasa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dalam segala arti dan bentuknya. Menyelami ini seperti mengingat kembali pernyataan almarhum Nurcholis Madjid. Ketika hendak memasuki putaran penyisihan pada konvensi calon presiden Partai Golkar tahun 2004 lalu, beliau sebenarnya telah mengajarkan agar siapapun yang ingin terjun ke kancah politik, tanpa ditemani logistik yang mumpuni, harus berpikir seribu kali. Alm. Cak Nur memberi keteladanan dengan mundur dari konvensi dan tidak ngotot karena alasan ini.

Hikmah yang keempat. Mereka yang menyandang status aktivis mahasiswa dan mantan aktivis mahasiswa --yang turut terlibat dalam perjuangan menumbangkan rezim otoriter orde baru-- harus mengakui kekalahan mereka dalam hal elektabilitas dibanding para selebriti. Dan ini sungguh tragis. Karena kekalahan yang diderita terjadi di kancah politik. Sebuah arena pertempuran yang sehari-hari digeluti oleh kawan-kawan kami. Baik dalam forum diskusi maupun agenda aksi. Kesalahan apa yang bisa dipelajari dari tragedi ini? Mau tahu? Tunggu saja tulisan saya berikutnya (he he).

Ketenaran memang ibarat lampu pijar pada sebuah rumah di pinggir sawah. Ia mampu menarik perhatian anai-anai untuk mendekat dan kemudian dicaplok para cicak dan katak. Tetapi tidak dengan kunang-kunang, serangga berpantat lampu, yang lebih memilih menjadi penerang dan bukan diterangi. Harus diinsyafi, reformasi selama ini ternyata hanya menghasilkan anai-anai dan bukan kunang-kunang. Sialnya, para aktivis mahasiswa dan mantannya belum mampu mengoreksi keadaan ini.

Mengenai popularitas, seorang teman berseloroh, kalau saja Rhani Juliani (perempuan yang terlibat dalam pusaran segitiga misteri Nasrudin-Antasari) mencalonkan diri sebagai caleg dari parpol gurem sekalipun ia bisa saja menang dan melenggang ke Senayan. Sebuah pernyataan sarkastis, namun cukup realistis. Awam yang tersihir budaya instan sekarang ini ternyata lebih memilih bungkus daripada isi. Lantaran lebih mudah dan tidak perlu buang-buang energi. Tetapi ini memang hikmah yang harus disyukuri. Anda tentu bisa membayangkan bagaimana perdebatan-perdebatan yang akan terjadi apabila seorang Rachel Maryam beradu mulut dengan Adian Napitupulu. Atau seorang Primus Yustisio bersilang pendapat dengan Sarbini di ruang sidang dewan. Jelaslah, ada tangan-tak-terlihat yang mengatur semua suratan ini. Para selebriti dan para pemilik uang dan kuasa yang dengan sumber dayanya berhasil menjadi wakil rakyat tentu tidak sekelas dengan kawan-kawan kami itu. Para wakil rakyat sejati. Anggota parlemen jalanan yang besar karena melawan, bukan karena menawan. Menyelami hikmah ini, bolehlah kita mengutip Tan Malaka dalam salah satu buku monumentalnya, Madilog: resan air ke air, resan minyak ke minyak.