Monday, March 21, 2011

Menolak Teror, Menyelamatkan NKRI

Bagaimana memahami teror bom yang bertubi-tubi terjadi beberapa hari belakangan ini? Di saat negeri ini tidak sedang dilanda perang. Atau sedang dicabik-cabik pertikaian berdarah antaranak bangsa. Penggunaan bom untuk menyampaikan pesan dan meninggalkan kesan sulit diterima akal sehat. Siapapun targetnya dan apapun tujuannya. Teror melalui bom, bukan hanya menimbulkan kematian, tetapi juga menumbuhkan kebencian-kebencian baru. Itu sebabnya kita harus sepakat teror bom bukanlah perilaku kriminal biasa. Teror menggunakan bom adalah kejahatan kemanusiaan yang membuat siklus kekerasan di negeri ini tak pernah berhenti. Kita, tidak bisa hanya mengandalkan negara, ataupun Pemerintah, untuk mengakhiri semua horor ini. Kita juga harus menyadari, menolak teror bom bisa dilakukan dengan menyingkirkan ketakutan dan meningkatkan kewaspadaan. Dan itu berarti menyelamatkan NKRI.

Tuesday, March 15, 2011

Menunggu Kebangkitan Kedua Jepang

Tak pernah ada yang tersisa dari bencana kecuali derita. Lihatlah Jepang kini. Gempa berkekuatan 9 skala richter yang disusul tsunami di pesisir timur negara itu meluluhkan apapun. Negara termakmur di Asia itu kini mungkin menjadi negara penuh nestapa. Bencana alam yang terjadi bukan hanya merenggut lebih dari 10.000 jiwa penduduknya, tetapi juga melenyapkan sumber-sumber pendapatan ekonomi dalam sekejap. Tidak hanya itu, bencana juga membuat ancaman baru yang tidak kalah dahsyatnya bagi negara itu. Pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi yang terletak di Okumamachi, Prefektur Fukushima mengalami kebakaran dan ledakan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan radiasi nuklir. Jepang pun kini menjadi negara yang penuh pengungsi. Jepang memang tidak akan menjadi negara papa. Bangsa titisan dewa matahari itu sudah pernah membuktikan kepada sejarah bila mereka mampu bangkit dari keterpurukan dahsyat pascaperang dunia kedua. Kini, dunia membutuhkan pembuktian itu lagi.

Friday, March 04, 2011

Merombak Koalisi Setengah Hati

Reshuffle atau kocok ulang komposisi Kabinet Indonesia Bersatu jilid II kian mendekat. Beberapa nama menteri dan calon penggantinya menjadi bahan gosip politik publik. Beberapa cemas. Beberapa berharap. Tetapi semua masih belum pasti selama wacana untuk merombak koalisi belum direalisasi. Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memang sudah menyatakan akan memberikan sanksi kepada parpol yang dinilai melanggar kesepakatan awal. Anehnya, Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang menjadi sumber kegusaran Partai Demokrat dalam Rapat Paripurna DPR yang membahas hak angket mafia pajak buang badan. Para pengurus kedua parpol tersebut merasa tidak melanggar kesepakatan sebagai code of ethic koalisi. Namun, itu bisa dimaklumi. Dalam dunia politik, melanggar atau tidak, benar atau salah tidaklah begitu penting. Karena yang menentukan adalah proses negosiasi yang selalu dipandu kepentingan. Persoalannya, apakah proses semua ini untuk kepentingan rakyat atau kuasa semata? Entahlah. Yang pasti, adagium: tiada kawan dan lawan abadi kecuali kepentingan, semakin jelas terbukti

Sunday, February 20, 2011

Jangan Bicara Reformasi di PSSI

Kasihan PSSI. Minim prestasi namun tak pernah punya keinginan untuk memperbaiki diri. Lihat saja ketika Tim Verifikasi Komite Pemilihan Ketua Umum PSSI hanya menyebut nama Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie sebagai calon ketua umum PSSI pada Kongres Bali, 26 Maret mendatang. Tak ada penentangan. Apalagi protes keras dari internal PSSI, baik daerah maupun pusat. Padahal, aspirasi publik sudah sering menyuarakan agar ada reformasi di tubuh PSSI. Namun, para pengelola PSSI bergeming dengan kondisi saat ini. Alih-alih mendengarkan, PSSI malah melawan semua anasir perubahan dengan pembungkaman. Salah satunya adalah dengan menghilangkan nama George Toisuta dan Arifin Panigoro dari bursa persaingan ketua umum PSSI. Sulit untuk mengetahui, apa yang membuat PSSI begitu kebal dengan aspirasi perubahan. Publik hanya bisa berspekulasi bahwa PSSI sudah dikangkangi sekelompok orang yang memiliki kekuatan untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Kita tahu sepakbola merupakan cabang olahraga terpopuler di dunia dan Indonesia. Dengan kata lain, menguasai PSSI berarti setengah jalan menuju puncak ketenaran. Namun karena sepakbola kita tidak pernah juara, pengurus PSSI tak pernah tenar secara benar. Itu sebabnya ada aroma oligarki dalam Kongres PSSI. Dan wacana reformasi PSSI tak akan bisa direalisasi. Kasihan PSSI.

(tulisan ini juga bisa dibaca di elshinta.com)

Tuesday, February 08, 2011

Menyoal Standar Ganda Penguasa

Di manakah negara, ketika warganya yang minoritas membutuhkan kehadirannya untuk melindungi diri mereka? Mengapa ia seolah tidak berdaya ketika menghadapi keberingasan sekelompok orang yang ingin menghakimi sesamanya dengan kekerasan di atas dalih agama? Inilah drama menyedihkan yang belum juga memasuki episode akhir. Negara, dan tentu saja termasuk aparatnya, seperti mengidap impotensi di hadapan warganya yang beringas dan liar. Tetapi, ini yang membuat kita heran, ia menjadi sangat perkasa di depan anak bangsanya yang kritis dan ingin bertanya. Dalam kasus Ahmadiyah dan Temanggung, kita menyaksikan negara yang lemah dan lelah. Namun, tidak demikian halnya ketika menghadapi para demonstran di depan Istana Kekuasaan. Lihatlah apa yang terjadi dengan para mahasiswa HMI yang berdemonstrasi di depan Istana Merdeka awal tahun ini. Sikap standar ganda yang sedang dijalankan oleh Pemerintah selaku pengelola negara, tentu berdampak besar terhadap peradaban negeri ini. Pembiaran negara terhadap kekerasan yang sering terjadi mungkin saja akan disimpulkan oleh kelompok penyuka kekerasan sebagai kemenangan awal dari pertempuran yang mereka mulai. Bila itu yang terjadi, dan negara betul-betul tidak mampu mengatasi. Kita harus terus bertanya: di manakah negara yang diberi berkah kekuatan memaksa? Dan itu menjadi sikap minimal kita.