Sunday, February 20, 2011

Jangan Bicara Reformasi di PSSI

Kasihan PSSI. Minim prestasi namun tak pernah punya keinginan untuk memperbaiki diri. Lihat saja ketika Tim Verifikasi Komite Pemilihan Ketua Umum PSSI hanya menyebut nama Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie sebagai calon ketua umum PSSI pada Kongres Bali, 26 Maret mendatang. Tak ada penentangan. Apalagi protes keras dari internal PSSI, baik daerah maupun pusat. Padahal, aspirasi publik sudah sering menyuarakan agar ada reformasi di tubuh PSSI. Namun, para pengelola PSSI bergeming dengan kondisi saat ini. Alih-alih mendengarkan, PSSI malah melawan semua anasir perubahan dengan pembungkaman. Salah satunya adalah dengan menghilangkan nama George Toisuta dan Arifin Panigoro dari bursa persaingan ketua umum PSSI. Sulit untuk mengetahui, apa yang membuat PSSI begitu kebal dengan aspirasi perubahan. Publik hanya bisa berspekulasi bahwa PSSI sudah dikangkangi sekelompok orang yang memiliki kekuatan untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Kita tahu sepakbola merupakan cabang olahraga terpopuler di dunia dan Indonesia. Dengan kata lain, menguasai PSSI berarti setengah jalan menuju puncak ketenaran. Namun karena sepakbola kita tidak pernah juara, pengurus PSSI tak pernah tenar secara benar. Itu sebabnya ada aroma oligarki dalam Kongres PSSI. Dan wacana reformasi PSSI tak akan bisa direalisasi. Kasihan PSSI.

(tulisan ini juga bisa dibaca di elshinta.com)

Tuesday, February 08, 2011

Menyoal Standar Ganda Penguasa

Di manakah negara, ketika warganya yang minoritas membutuhkan kehadirannya untuk melindungi diri mereka? Mengapa ia seolah tidak berdaya ketika menghadapi keberingasan sekelompok orang yang ingin menghakimi sesamanya dengan kekerasan di atas dalih agama? Inilah drama menyedihkan yang belum juga memasuki episode akhir. Negara, dan tentu saja termasuk aparatnya, seperti mengidap impotensi di hadapan warganya yang beringas dan liar. Tetapi, ini yang membuat kita heran, ia menjadi sangat perkasa di depan anak bangsanya yang kritis dan ingin bertanya. Dalam kasus Ahmadiyah dan Temanggung, kita menyaksikan negara yang lemah dan lelah. Namun, tidak demikian halnya ketika menghadapi para demonstran di depan Istana Kekuasaan. Lihatlah apa yang terjadi dengan para mahasiswa HMI yang berdemonstrasi di depan Istana Merdeka awal tahun ini. Sikap standar ganda yang sedang dijalankan oleh Pemerintah selaku pengelola negara, tentu berdampak besar terhadap peradaban negeri ini. Pembiaran negara terhadap kekerasan yang sering terjadi mungkin saja akan disimpulkan oleh kelompok penyuka kekerasan sebagai kemenangan awal dari pertempuran yang mereka mulai. Bila itu yang terjadi, dan negara betul-betul tidak mampu mengatasi. Kita harus terus bertanya: di manakah negara yang diberi berkah kekuatan memaksa? Dan itu menjadi sikap minimal kita.