Tuesday, April 28, 2009

AWASI OLIGARKI!!!

Alot. Mungkin hanya itu kata yang tepat untuk menggambarkan betapa sulitnya mencari cawapres untuk dipersandingkan dengan kedua capres potensial yang namanya tercantum dalam judul tulisan ini. Sengaja nama Jusuf Kalla tidak dimasukkan sebagai capres karena pada saat tulisan ini dibuat, beliau sedang menghadapi perpecahan internal di Partai Golkar. Yang terbelah antara kubu yang menginginkan sang ketua umumnya sebagai capres dan kubu yang memintanya mendampingi SBY sebagai cawapres. Situasi politik saat ini seperti menggerakkan jarum jam berputar mundur ke masa orde baru dulu. Setiap habis pemilu di masa itu, Alm. Jenderal Besar Suharto sebagai calon presiden tunggal dan incumbent tak pernah mendapatkan kesulitan untuk menduduki kembali tahtanya sebagai orang nomor satu di republik ini. Hingga berhasil mengawetkan kekuasaan itu dalam genggamannya selama 32 tahun. Riak-riak politik justru terjadi ketika Suharto membutuhkan mempelai yang akan mendampinginya saat dilantik di depan sidang paripurna MPR.

Kita ingat, Alm. Hasan Metareum mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan pernah mencoba peruntungan politiknya dengan mengajukan diri menjadi cawapres Suharto. Namun, upaya Buya Ismail seperti pemuda mabuk kepayang yang bertepuk sebelah tangan. Kala itu, penolakan justru datang dari Suharto sendiri (lengkapnya bisa dibaca di buku biografi Suharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya). Ketika Habibie digadang-gadang Suharto untuk mendampinginya di senja kala kekuasaannya, persinggungan politik juga terjadi di antara kaki tangan sang Jenderal Besar. Namun, dampaknya tidak pernah mengurangi kekuatan politik dan pengaruh Suharto. Maklum, di masa itu, Suharto adalah episentrum kekuasaan. Bahkan, sebagian ilmuwan politik beranggapan, Suharto adalah kekuasaan itu sendiri. Suharto berhasil melakukan personalisasi jabatan kepresidenan, kata pengamat itu. Maka, bagaimanapun konflik dan gesekan politik akibat perebutan pengaruh pada internal dan antarelemen ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) sebagai triumvirat penyangga orde baru karena masing-masing memiliki jago untuk mendampingi Suharto, mantan serdadu KNIL itu selalu bisa meredamnya dengan langgam politiknya yang khas. Sesuai dengan filosofi Jawa yang selalu diucapkannya: digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.

Kini, sejarah itu seperti berulang. Tentu, dengan bungkusnya yang jauh berbeda, namun isinya bisa dibilang sama saja. Masih terjadi oligarki politik yang menihilkan partisipasi politik rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan dan mengandalkan pengambilan keputusan pada segelintir elit politik. Jika dulu center of power berada di tangan Suharto seorang, maka kini kendali untuk mengarahkan wajah perpolitikan ke depan berada di tangan SBY dan Mega. Dua petinggi parpol besar sekaligus dua capres yang akan bertanding pada 8 Juli nanti. Untuk menentukan siapa cawapres yang akan menemani mereka pada pertempuran itu, keduanya memiliki hak istimewa untuk memilih sendiri. SBY diserahi 19 nama oleh DPP Partai Demokrat. Sementara, Mega lebih longgar lagi. Hasil Rakernas V PDIP terakhir tidak terlalu jelas berapa nama yang direkomendasikan partai untuk dipertimbangkan.

Sulit memang untuk langsung menyalahkan kedua figur itu, yang tentu saja sangat menikmati privilege oligarki tersebut, karena mekanisme dan prosesnya berlangsung dalam institusionalisasi politik yang demokratis, baik lewat rakernas ataupun rapimnas (bottom up). Namun, fenomena itu jelas menyiratkan jika warisan otentik dari struktur dan kultur otoriter orde baru yang menegasi hak-hak politik rakyat masih berlangsung (lengkapnya bisa dibaca di Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai karya Syamsudin Harris). Secara murni dan konsekuen.

Sialnya lagi, jika ternyata pada pilpres mendatang hanya dua nama itu yang muncul sebagai petarung. Itu berarti rakyat tidak punya pilihan kecuali mendapatkan calon presiden yang adalah pelaku oligarki. Walau hanya di tingkat partai politik, namun gaya kepemimpinan yang menghalalkan tumbuhnya kultur dan struktur oligarki pada partai mereka bukan tidak mungkin akan terbawa saat menduduki jabatan sebagai figur nomor satu di republik ini. Tentu asumsi ini masih terlalu dini. Namun, sebagai diskursus setidaknya kita bisa menginsyafi jika era reformasi saat ini baru pada tahapan berhasil menyelenggarakan seremoni dan selebrasi demokrasi politik, yang hanya memanjakan hak azasi segelintir politisi.

No comments: