Friday, May 15, 2009

Resan Air ke Air, Resan Minyak ke Minyak

Kalian tahu apa yang terjadi dengan keenam kawan kami yang memberanikan diri menjadi caleg dari sejumlah parpol pada pemilu kemarin hari? Mereka, seperti yang sudah diprediksi secara tersirat dalam tulisan sebelumnya (Baca: Caleg Gila dan Simple Plan), akhirnya rontok satu persatu. KPU tidak menyebut nama-nama keenam kawan kami itu ketika membacakan pengumuman penetapan perolehan kursi dari 9 parpol yang lolos parliamantary treshold. Begitu juga dengan kawan kami yang menjadi caleg partai pemenang pemilu legislatif 2009 ini (Partai Demokrat) untuk menduduki kursi DPRD Kabupaten Tangerang Banten ternyata setali tiga uang dengan yang lainnya. Padahal di tempat itu Demokrat bisa dibilang menang cukup telak. Tidak hanya itu. Sejumlah aktivis eksponen 98, 90-an, dan 80-an yang kami ketahui ikut mengundi peruntungan politik mereka pada pemilu legislatif tahun ini juga bernasib idem. Sama-sama apes. Sama-sama terpuruk.

Walau begitu, kami tetap menakzimkan mereka. Karena mereka telah memilih untuk berjuang meretas jalan menuju kekuasaan dan tetap tegar walau gagal. Kami malah bersyukur. Karena tidak ada yang harus menjalani terapi atau berobat ke rumah sakit jiwa akibat depresi dan gangguan jiwa yang dialami karena utang yang tidak mampu dibayar. Atau malu karena terlanjur berkoar-koar di depan banyak orang. Kami juga tidak perlu repot-repot untuk membantu menarik atau meminta kembali sejumlah sumbangan seperti sarung, kopiah, sajadah, kaos, karpet, dan lain sebagainya dari para warga yang menjadi konstituen mereka. Karena mereka memang tidak pernah menyumbang atau memberikan barang-barang seperti itu ketika musim kampanye kemarin.

Jelas sudah. Perjamuan terakhir di kafe Cikini Jakarta yang kami selenggarakan semalam sebelum hari penandaan ternyata ada gunanya juga untuk mereka. Ketika satu persatu kawan-kawan mantan caleg itu kami hubungi pascapenetapan penghitungan suara manual di KPU beberapa waktu lalu (dan panggilan lewat telpon itu kami ulangi lagi ketika KPU melakukan perubahan perolehan kursi, Rabu atau 13/5) tetap saja tidak ada yang berubah dengan kondisi mental mereka. Semua tetap seperti sedia kala. Sebelum tak genap, setelah tak ganjil.

Kalaupun ada yang berubah pascapemilu legislatif adalah bahwa pada saat ini kami menjadi sering bertemu, bahkan bisa dibilang pertemuan rutin. Setiap Kamis malam pertemuan itu dilakukan di sebuah gedung di Jakarta Selatan dengan agenda pembahasan menyikapi kondisi mutakhir. Jadi ini semacam forum diskusi-kontemplasi-yang-diharapkan-berakhir-dengan-aksi. Setelah saya pikir-pikir apa yang terjadi pada saat ini adalah buah dari perjalanan politik keenam kawan kami. Saya lebih senang menganggapnya sebagai hikmah. Dan forum Kamis malam itu adalah hikmah pertama.

Hikmah kedua, adalah kami, dengan pengalaman yang disampaikan oleh kawan-kawan kami itu, menjadi lebih tahu bahwa dunia politik praktis memang sarat dengan kepentingan-kepentingan sesaat yang dijalankan dengan cara-cara yang sesat. Betapa tidak. Dua orang kawan kami yang mendapatkan suara cukup signifikan pada sebuah parpol besar ternyata kalah karena tiba-tiba jumlah suaranya menciut, sementara caleg yang dijagokan oleh lingkaran dalam struktur parpol tersebut (tentu dengan sejumlah alasan; seperti uang dan imbalan tertentu) berhasil lolos ke Senayan.

Seorang kawan kami yang lain juga mengalami nasib yang sama. Suara yang dengan susah payah ia kumpulkan berpindah ke caleg yang lain setelah penghitungan dilakukan di tingkat panitia pemilihan kecamatan. Memang sulit bagi kami untuk membenarkan ataupun menganggap cerita kawan-kawan kami itu adalah rekaan, sebagai sekadar dalih bahwa kekalahan mereka karena dicurangi. Walau tidak mampu mengadakan verifikasi atas semua cerita-cerita itu, namun kami tetap yakin jika ada yang tidak beres dengan kondisi perpolitikan di tubuh parpol-parpol kita. Selain itu, kami percaya karena kawan-kawan kami ini bukanlah pengurus PSSI yang punya hobi menyalahkan faktor eksternal ketimbang melakukan introspeksi diri.

Hikmah yang ketiga, adalah bahwa kami telah diajari betapa uang dan kekuasaan seperti dua sisi mata koin. Memiliki salah satunya sisinya niscaya akan menikmati satu sisi yang lainnya. Keduanya adalah simbol kesuksesan duniawi yang hakiki. Dan kawan-kawan kami telah dikalahkan karena minimnya dua sumber daya ini; uang dan kuasa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dalam segala arti dan bentuknya. Menyelami ini seperti mengingat kembali pernyataan almarhum Nurcholis Madjid. Ketika hendak memasuki putaran penyisihan pada konvensi calon presiden Partai Golkar tahun 2004 lalu, beliau sebenarnya telah mengajarkan agar siapapun yang ingin terjun ke kancah politik, tanpa ditemani logistik yang mumpuni, harus berpikir seribu kali. Alm. Cak Nur memberi keteladanan dengan mundur dari konvensi dan tidak ngotot karena alasan ini.

Hikmah yang keempat. Mereka yang menyandang status aktivis mahasiswa dan mantan aktivis mahasiswa --yang turut terlibat dalam perjuangan menumbangkan rezim otoriter orde baru-- harus mengakui kekalahan mereka dalam hal elektabilitas dibanding para selebriti. Dan ini sungguh tragis. Karena kekalahan yang diderita terjadi di kancah politik. Sebuah arena pertempuran yang sehari-hari digeluti oleh kawan-kawan kami. Baik dalam forum diskusi maupun agenda aksi. Kesalahan apa yang bisa dipelajari dari tragedi ini? Mau tahu? Tunggu saja tulisan saya berikutnya (he he).

Ketenaran memang ibarat lampu pijar pada sebuah rumah di pinggir sawah. Ia mampu menarik perhatian anai-anai untuk mendekat dan kemudian dicaplok para cicak dan katak. Tetapi tidak dengan kunang-kunang, serangga berpantat lampu, yang lebih memilih menjadi penerang dan bukan diterangi. Harus diinsyafi, reformasi selama ini ternyata hanya menghasilkan anai-anai dan bukan kunang-kunang. Sialnya, para aktivis mahasiswa dan mantannya belum mampu mengoreksi keadaan ini.

Mengenai popularitas, seorang teman berseloroh, kalau saja Rhani Juliani (perempuan yang terlibat dalam pusaran segitiga misteri Nasrudin-Antasari) mencalonkan diri sebagai caleg dari parpol gurem sekalipun ia bisa saja menang dan melenggang ke Senayan. Sebuah pernyataan sarkastis, namun cukup realistis. Awam yang tersihir budaya instan sekarang ini ternyata lebih memilih bungkus daripada isi. Lantaran lebih mudah dan tidak perlu buang-buang energi. Tetapi ini memang hikmah yang harus disyukuri. Anda tentu bisa membayangkan bagaimana perdebatan-perdebatan yang akan terjadi apabila seorang Rachel Maryam beradu mulut dengan Adian Napitupulu. Atau seorang Primus Yustisio bersilang pendapat dengan Sarbini di ruang sidang dewan. Jelaslah, ada tangan-tak-terlihat yang mengatur semua suratan ini. Para selebriti dan para pemilik uang dan kuasa yang dengan sumber dayanya berhasil menjadi wakil rakyat tentu tidak sekelas dengan kawan-kawan kami itu. Para wakil rakyat sejati. Anggota parlemen jalanan yang besar karena melawan, bukan karena menawan. Menyelami hikmah ini, bolehlah kita mengutip Tan Malaka dalam salah satu buku monumentalnya, Madilog: resan air ke air, resan minyak ke minyak.

No comments: