Tuesday, March 03, 2009

David Hartanto dan 9 Orang Singapura

Berita mengejutkan itu tersiar pada Senin (2/3) siang. Seorang mahasiswa asal Indonesia bernama David Hartanto Wijaya menikam dosen pembimbingnya Profesor Chan Kap Luk dan kemudian melakukan bunuh diri dengan melompat dari sebuah gedung di kompleks Nanyang Technology University (NTU). Bukan hanya cara kematiannya yang menggemparkan, pelaku dan korban peristiwa itu juga bukan orang sembarangan.

Selain pintar, David adalah orang baik-baik. Sesama temannya mengenangnya sebagai mahasiswa yang ramah dan menyenangkan. Mendiang juga adalah anggota kontingen Olimpiade Matematika Indonesia di Meksiko pada tahun 2005. Sementara Profesor Chan juga tidak pernah memiliki catatan buruk dalam bidang pendidikan, setidaknya itulah yang terekam dalam profil dosen tersebut di situs milik NTU.

Jika keduanya adalah orang baik-baik, lalu mengapa bisa terjadi peristiwa ini? Dengan kata lain, apa motivasi David menikam Prof Chan lalu mengakhiri hidupnya di kampusnya sendiri? Inilah yang masih menjadi teka-teki dan kini menjadi perhatian utama para polisi. Pers dan konsumen berita di Indonesia hanya bisa mengikutinya dari pinggir lapangan karena tempat kejadian perkara terletak nun jauh di negeri seberang.

Karena tidak bisa mengikuti secara langsung proses penyelidikan, maka teori mengupas berita seperti makan bubur panas pun dicoba. Anda tahu, jika ingin menyantap bubur panas-panas karena lapar sudah tak bisa dijinakkan, cara yang terbaik adalah dengan menyendok pinggir-pinggirnya lebih dulu karena lebih dingin dari pada yang di tengah mangkuk. Program Seputar Indonesia di RCTI, misalnya, melakukan hal itu pada Selasa (3/3) sore. Wartawannya mewawancarai seorang pakar sekaligus praktisi pendidikan DR Arif Rahman Hakim untuk mengomentari peristiwa tragis itu.

Dalam salah satu asumsinya, Arif Rahman memaparkan jika peristiwa itu bisa saja terjadi karena minimnya olah hati dan rasa. Ditambah beban akademis yang sedemikian besar, yang umumnya menjadi tekanan bagi mahasiswa pada kampus-kampus favorit –NTU adalah satu dari seratus kampus terbaik di dunia—maka sangat mungkin terjadi, depresi mengakhiri klimaksnya dengan bunuh diri. Dengan kata lain, bisa disimpulkan untuk sementara jika mendiang David melakukan hal itu dalam kondisi kejiwaan yang lara alias tidak bahagia.

Padahal, David tinggal di Singapura. Negara di mana 9 dari 10 penduduknya merasa optimis dan hidup berbahagia. Setidaknya itulah klaim yang disampaikan oleh Ngiam Shih Chun dan Lee Tze Hao, keduanya adalah pejabat setingkat direktur dari Kementerian Pengembangan Komunitas, Pemuda dan Olahraga Singapura di depan para peserta Indonesian Journalist Visit Programme, pada akhir 2008 kemarin. Klaim itu menyandarkan data pada hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian itu mengenai perilaku sosial warga Singapura, pada tahun 2007. “Mengapa warga Singapura merasa bahagia? Lantaran mereka hidup dalam kesejahteraan, keharmonisan dan keteraturan,” demikian jelas Ngiam Direktur Bagian Hubungan dan Penguatan Komunitas pada waktu itu.

Memang amat sulit untuk menampik pengakuan Ngiam, yang sedikit melemahkan kebanggan kita akan Indonesia, yang dasarnya memang sudah lemah, itu. Kita, di Indonesia hanya tidak punya kesejahteraan untuk bisa sama-sama merasakan kebahagiaan seperti yang dialami 90 persen dari 3,8 juta warga Singapura. Dua faktor kebahagiaan yang dimiliki Singapura juga ada di Indonesia. Singapura dan Indonesia adalah dua negeri yang warganya bisa berbeda-beda secara harmonis. Demikian pula dengan keteraturan, jika di Singapura semua berlangsung secara teratur, maka di Indonesia semua bisa diatur. Sebuah lelucon yang tentu menjadi menyebalkan di tengah berita kedukaan.

Oh iya, kita kembali lagi ke masalah kebahagiaan. “Jika 9 dari 10 orang Singapura dinyatakan hidup berbahagia, lalu mengapa yang satu itu tidak berbahagia?” demikian tanya salah satu teman pada saat itu kepada Ngiam. Menanggapi pertanyaan itu, Ngiam mati kutu. Rupanya makalah yang mungkin ditulis anak buahnya tidak menampilkan data survei yang detail. Ia hanya berkilah, pastilah si responden yang tidak bahagia itu memiliki perasaan yang berkebalikan dengan sembilan orang lainnya.

Lalu, apakah David termasuk di antara satu dari sepuluh orang Singapura yang tidak bahagia? Tentu saja bukan. Alasannya jelas, David bukanlah warga negara Singapura. Mendiang tentu bukan salah satu responden yang disasar secara acak oleh lembaga survei tadi. Tidak hanya itu, di luar bebannya sebagai mahasiswa NTU, David pastilah menjalani kehidupan yang bahagia, atau setidaknya sejahtera. Tengok saja latar pendidikan yang dijalani David. Selain kuliah di NTU, David adalah juga alumni SMAK 1 BPK Penabur. Tidak sembarang orang bisa menuntut ilmu di sekolah yang banyak melahirkan juara olimpiade internasional di bidang ilmu pengetahuan itu. Jika Anda kembali bertanya, lalu apa sebenarnya yang menjadi motivasi tindakan mendiang David? Mau tahu jawabannya? Sabar ya, buburnya masih panas.

2 Maret 2009