Sunday, March 08, 2009

Diceramahi Abdul Hadi Jamal (2)

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengutarakan kesulitannya dalam menghadapi dinamika politik setelah mengikuti proses pencalonannya sebagai legislator untuk daerah pemilihan IV Jawa Tengah yang meliputi tiga kabupaten; Sragen-Wonogiri-Karanganyar. Semua itu, dinilainya, bersumber dari Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai terpilihnya caleg yang ditentukan oleh suara terbanyak. Keputusan ini otomatis menganulir ketentuan sebelumnya di mana caleg terpilih ditentukan atas dasar nomor urut di kertas suara.

"Kok bisa? Bukankah dengan keputusan MK itu, posisi kau yang berada di nomor urut belakang punya peluang lebih besar dari sebelumnya?"
"Iya. Secara positif, bisa dikatakan seperti itu. Namun, eksesnya adalah kita-kita yang berada di nomor urut belakang harus berupaya sekuat tenaga untuk bisa muncul. Belum lagi peta perebutan pengaruh saat ini sudah menjadi melebar. Dulu, kita hanya bertarung dengan parpol lain, sekarang dengan teman sendiri pun kita saling menyikut dan menohok. Seperti sekarang ini, wilayah yang sudah saya prediksi bakal dikuasai, ternyata malah diobok-obok teman sendiri. Dan, saya pikir, fenomena ini juga menimpa rekan-rekan caleg dari parpol lain. Keputusan MK ini juga menjadikan caleg dengan dana kampanye yang terkuatlah yang mampu mengonsolidasikan kekuatannya secara baik. Bisa dibilang Pemilu 2009 ini sebagai Pemilu Kapitalisasi. Pemilu untuk para pemilik modal dan dana."
"Kok bisa begitu?"
"Waktu saya masuk kabupaten Wonogiri seminggu lalu, saya ditawari seorang tokoh DPC (daerah pengurus cabang, red) Wonogiri, jika ingin menang cukup memberinya uang 50 juta untuk satu kecamatan di wilayah Wonogiri. Dengan uang itu, ia menjamin seluruh kader dan simpatisan partai akan mencontreng nama saya. Di Wonogiri itu ada 25 kecamatan, jika saya mengikuti ucapannya maka saya harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 1,25 milyar. Itu hanya untuk satu Wonogiri, belum Karanganyar dan Sragen. Saya sendiri menolak tawaran tersebut, karena memang tidak punya uang sebanyak itu. Entah kalau caleg yang lain. Tiga caleg di atas saya (dari parpol yang sama, red), dua di antaranya adalah pengusaha ternama. Kader modal semangat dan loyalitas kayak saya ini paling-paling hanya bisa pasrah saja."
"Wah, kok sudah separah itu, ya? Saya khawatir, para caleg yang terpilih dengan peraturan baru ini nantinya akan lebih lebih berkonsentrasi untuk mengembalikan modal kampanyenya ketimbang memenuhi aspirasi konstituennya."
"Begitulah. Menurut saya, seharusnya putusan MK ini dikeluarkan jauh hari sebelum masa kampanye di mulai. Ini untuk memudahkan para kader parpol memperkenalkan diri kepada konstituen. Kalau seperti ini, yang terjadi adalah siapa yang modalnya kuat dialah yang paling bisa mendekat ke rakyat."
"Lalu, apa peran DPP?"
"Nah, ini yang menggelikan. Tentu saja, DPP mempunyai peran bagi mereka yang memegang uang atau mereka yang dekat secara pribadi dengan figur di DPP. Mereka itulah yang digadang-gadang orang DPP ke basis-basis kader atau konstituen, sementara kami-kami ini dianggurkan. Yang lucunya lagi, kemarin itu, kami sempat dikumpulkan oleh pihak DPP dan DPD, mereka meminta para caleg untuk urunan buat membayar uang lelah para saksi-saksi di TPS. Tentu saja banyak yang keberatan. Waktu kampanye seperti sekarang ini kami tidak banyak dibantu, tetapi untuk masalah itu kami diminta urunan."

Dari penjelasan sang teman tersebut, saya bisa memahami mengapa uang memegang peranan penting dalam kampanye pemilu kali ini. Tentu, tidak terlalu sulit menghubungkan antara kebutuhan logistik kampanye dengan masalah kriminal yang membekap para caleg-caleg yang sudah tertangkap. Persoalannya, apakah para pengambil kebijakan di negeri ini sudah menginsyafi jika semua sendi di negara ini telah mengalami komersialisasi dan komodifikasi, termasuk Pemilu tahun ini. Atau dalam bahasa teman saya itu sebagai Pemilu Kapitalisasi. Saya sendiri lebih senang dengan ungkapan satir orang Tapanuli: hepeng mangatur nagaraon.

Saya mengenal AHJ karena profesi. Sebagai jurnalis saya sering berhubungan dengan AHJ, walaupun hanya melalui telephon. Kadang untuk keperluan wawancara dan pembuatan program saya harus menelephonnya lewat dari pukul 10 malam. AHJ sendiri tidak pernah merasa keberatan dengan telephon-telephon dari saya itu. Ia selalu mengangkat dan menjawabnya, walau posisinya berada di Makasar Sulawesi Selatan atau pukul 11 malam waktu setempat. Dalam perbincangan, kami tidak melulu membicarakan mengenai topik wawancara atau program. Ada juga kami berbicara mengenai hal lain. Dari situ dapat saya pahami jika AHJ termasuk legislator yang responsif untuk konstituennya di Sulawesi Selatan dan cukup mumpuni untuk permasalahan yang menjadi tugasnya di DPR, yaitu komisi perhubungan dan transportasi.

Tetapi persepsi saya mengenai AHJ itu terjadi dua atau tiga bulan sebelum yang bersangkutan ditangkap karena diduga terlibat suap. Sekarang persepsi di kepala saya pun bertambah mengenai AHJ. Tidak hanya itu, persepsi saya mengenai Pemilu 2009 pun semakin banyak pula. Jika, menuruti analisis Arbi Sanit, AHJ mungkin saja tidak mendekam di sel tahanan KPK jika ia tidak lagi mencalonkan diri sebagai anggota DPR lagi. Ia saat ini mungkin sedang bercengkrama dengan anggota keluarga atau dengan para cucu tercinta.

Tetapi untunglah ada kasus AHJ (dan juga caleg-caleg yang tertangkap karena diduga terlibat kriminal dengan motif ekonomi). Karena AHJ dan mereka semua telah menceramahi kita jika komodifikasi, komersialisasi, kapitalisasi, materialisasi, dan apapun namanya telah merasuki hati dan pikiran kita untuk memenuhi semua tuntutan itu dengan apapun caranya, walaupun mencuri. Pemilu yang dikomersialisasi telah menjadi bukti.

8 Maret 2009

No comments: