Monday, March 02, 2009

Mengapa Sulit Menemukan Sampah di Kota Singapura?

Singapura yang menyandarkan sebagian pendapatan devisanya kepada pariwisata nonkonvensional menanggulangi sampah dengan cara yang luar biasa. Uang bernilai hampir lima trilyun rupiah digelontorkan hanya untuk membangun megaproyek antisampah. Hasilnya ternyata juga ruuuarr biasa.

Bagi kota-kota besar dengan jumlah penduduk yang sesak, sampah adalah momok yang menyebalkan sekaligus mengkhawatirkan. Sebal, karena bau dan pemandangan yang ditimbulkannya. Khawatir, sebab masalah sampah sudah menimbulkan kematian dan bencana. Itu pernah terjadi di tempat pembuangan akhir sampah di Leuwigajah Kota Cimahi dan TPA Bantargebang Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

Di Singapura, soal sampah kini telah punah sejak tempat pembuangan akhir Semakau atau Semakau Landfill dibangun pada April 1995. Megaproyek yang bentuknya seperti atol atau pulau karang berbentuk cincin itu sejatinya berada di antara pulau Semakau dan pulau Sakeng. Dengan menumpang perahu motor dari Pelabuhan Penyeberangan Pasir Panjang, perjalanan menuju Semakau Landfill memakan waktu sekitar 20 menit. Pulau Semakau yang merupakan gugusan dari pulau-pulau mungil di selatan perairan Singapura, terletak 8 kilometer jaraknya dari daratan Singapura. Dari atas pulau sampah ini, pulau Batam dan pulau-pulau terluar milik Indonesia terlihat dengan jelas.

Walau menjadi tempat pembuangan akhir, di Semakau Landfill tidak akan ditemukan sedikitpun sampah yang dibawa dari daratan Singapura. Semua sampah kering telah berubah bentuk menjadi butiran debu dan pasir. Sementara untuk sampah basah telah berubah menjadi kompos. Untuk melakukan itu semua, manajemen Semakau Landfill yang berada di bawah Dewan Lingkungan Hidup Nasional Singapura telah mengeluarkan kebijakan integratif. “Pengelolaan sampah kami mulai sejak keluar dari rumah-rumah. Sampah domestik itu harus telah dipilih dan dipilah oleh warga sebelum dibuang ke tempat sampah.”jelas Ong Chong Peng Manajer Umum Semakau Landfill.

Jangan bayangkan tempat sampah di Singapura sama dengan tempat sampah di Jakarta, yang umumnya berupa sebuah bak penampungan terbuka, atau open dumping, yang biasanya menjadi surga bagi para belatung, lalat, tikus dan pemulung. Tempat sampah yang dimaksud Ong sebuah terowongan yang akan menghisap sampah menuju pusat pengumpulan sampah. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena mayoritas warga Singapura hidup dalam blok-blok apartemen dan rumah susun. Secara bergurau, Wong We Tee pemandu wisata dari Badan Pariwisata Singapura menggambarkannya sebagai: “Orang Singapura tidak bisa hidup berdampingan dengan tetangganya, karena kami hidup bertumpukan (not side by side, but top on top).”

Sampah yang terkumpul kemudian dikirim ke tempat pembakaran sampah atau insenerator. Sampah kemudian dibakar dengan suhu tertentu sehingga menjadi butiran debu dan pasir. Baru kemudian dibawa ke Semakau Landfill dengan menggunakan perahu tongkang,” jelas Ong Chong Peng Manajer Umum Semakau Landfill.

Di daratan, Singapura memiliki empat lokasi pembakaran sampah atau insenerator. Semula, proyek ini mendapatkan penentangan karena dikhawatirkan menimbulkan ancaman terhadap lingkungan hidup, terutama yang diakibatkan dari asap pembakaran sampah. “Untuk mengurangi polusi asap, pembakaran sampah menggunakan gas, yang kami impor dari Indonesia, sementara asap yang keluar telah melalui proses penyaringan sehingga sangat bersahabat dengan lingkungan,” urai Ong. Ong juga menambahkan, proyek Semakau berhasil menambah luas hutan bakau dan memperkaya habitat hewan laut di sekitarnya. “Untuk pengadaan listrik di pulau ini, kami tidak memakai genset, tetapi membangun pembangkit listrik tenaga surya.” Ong memang bangga dengan proyek Semakau sebagai pilot proyek pengelolaan sampah yang berbasis lingkungan hidup.

Semakau kini dapat menampung 1500 ton abu sampah dan 500 ton sampah basah setiap harinya. Dengan kapasitas penampungan mencapai 63 juta meter kubik, Semakau Landfill akan berubah menjadi pulau baru pada tahun 2045. “Di atas pulau ini, Pemerintah Singapura akan membangun real estat, lapangan golf, hutan bakau, serta tempat pariwisata,” kata Tan Wee Hock Direktur Jaringan Sektor Masyarakat, Publik dan Swasta Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura, sambil mengarahkan tangannya menunjuk sudut-sudut Semakau.

Walau proyek Semakau belum selesai, namun tanahnya kini telah dapat dimanfaatkan oleh otoritas Semakau sebagai obyek penelitian dan tempat pelesiran laut dan pantai. “Kami telah membuka Semakau untuk lokasi studi biota laut dan pantai, wisata pemancingan, dan tempat olahraga,” tambah Tan. Itu berarti sumber duit baru. Ibaratnya, sekali mendayung ke Semakau, dua tiga problem teratasi.

ahmad s

No comments: