Monday, March 02, 2009

Pelajaran dari Singapura Buat Para Caleg Kita

Dalam Program Kunjungan Jurnalis Indonesia ke Singapura pada akhir tahun 2008 yang lalu, elit politik Singapura membeberkan program politik mirip pelayanan sosial kepada konstituennya atau Meet-the-People Session. Mudah-mudahan bisa dicontoh para caleg yang saat ini sedang berebut suara pemilih.

Sore baru saja bertemu malam. Namun, selasar di lantai dasar rumah susun yang terletak di Woodlands Drive Singapura, Selasa malam (28/10) itu sudah disesaki tigapuluhan warga, dengan usia rata-rata di atas 30 tahun. Sambil duduk-duduk banyak dari mereka yang menyibukkan diri dengan membaca, atau menyumpal kuping dengan earphone untuk mendengarkan alunan musik. Ada pula yang terlibat percakapan sambil berdiri. Itu mereka lakukan sambil mengantri tertib menunggu panggilan. Satu per satu dari mereka dipanggil dan memasuki sebuah ruangan, yang sebenarnya adalah ruang kelas Woodlands Kindergarten. Namun, panjang antrian tidak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Karena jumlah yang pulang tidak sebanding dengan warga yang datang.

Antrian itu bukan untuk menunggu pemeriksaan dokter. Atau untuk mendapatkan bantuan langsung tunai seperti di Indonesia. Mereka adalah warga yang ingin memecahkan masalah hidup yang dihadapi sehari-hari. Untuk itu mereka berharap bisa bertemu langsung dengan anggota Parlemen Singapura Dr Mohammad Maliki bin Osman.

Inilah Meet-the-People Session MPS). Program politik milik People Actian Party (PAP), partai pemegang mayoritas tunggal Singapura. MPS mengharuskan anggota Parlemen PAP untuk melayani rakyat secara langsung. Anggota parlemen itu harus rela mendengar, bahkan mencarikan jalan keluar dari kebuntuan yang menjadi masalah rakyat. Mulai dari persoalan internal suami istri hingga ketegangan yang terjadi antartetangga. Mulai dari soal kesulitan membayar tagihan listrik atau telpon atau mencicil kredit apartemen hingga masalah orangtua yang tidak mampu membeli buku atau bahkan susu untuk anaknya.

Ini tentu berbeda dengan temu kader seperti yang dilakukan para wakil rakyat dari DPR RI, kala reses. Jika temu kader berlangsung seperti rapat massal yang diselenggarakan dalam tempo singkat dengan cara tidak seksama, maka MPS berjalan rutin, seminggu sekali. Kecuali hari-hari libur nasional, tentunya. Hebatnya lagi, dalam menjalani MPS anggota Parlemen akan bertemu empat mata dengan rakyatnya dengan waktu pertemuan yang relatif. Bergantung dari besar kecilnya masalah yang dibawa sang rakyat. Jadi, mirip praktik dokter, tidak hanya memberikan diagnosa namun juga mengobati derita.

“Jika melihat animo masyarakat yang seperti ini, pertemuan bisa berlangsung hingga pukul satu dinihari,” jelas Justus Chua. Justus adalah satu dari 15 relawan yang malam itu membantu Dr Maliki menemui warga sejak pukul tujuh malam waktu setempat. Bersama sepuluh relawan lainnya, Justus kebagian tugas mencek rekam jejak warga yang ingin berkonsultasi dan menyeleksi kadar persoalan. “Kalau persoalannya ringan, saya bisa memberikan saran dan jalan keluar sesuai keperluan, namun jika sudah kelewat berat dan butuh kebijakan dari atas, Saya akan menyerahkannya ke Mr. Maliki”. Sementara, lima rekan Justus yang lain bertindak sebagai tenaga administrasi yang mencatat dan mendata identitas warga ke dalam sebuah kartu. Bentuk dan fungsi kartu ini mirip dengan rekam medis pasien rumah sakit.

“Kartu ini akan saya isi dengan keluhan warga,” terang Justus sambil menunjukkan selembar kertas tebal bergaris-garis berwarna biru. Jika dalam sebulan kartu sudah terisi penuh, itu berarti warga tadi selalu datang membawa keluhan setiap minggu. “Terhadap warga yang seperti itu, kami tidak akan berikan pelayanan lagi. Kecuali, warga itu datang dengan masalah yang berbeda.”

Tetapi, bagaimana jika ternyata anggota parlemennya yang tidak datang dalam MPS? “Selain akan ditegur oleh partai, anggota parlemen yang seperti itu tentu tidak akan dipilih lagi oleh rakyat,” tambah Justus, yang adalah Sekretaris Cabang PAP untuk Admiralty Sembawang. Pada pemilu 2006 lalu , Dr Maliki dipilih oleh mayoritas warga blok rumah susun Woodlands Drive yang termasuk dalam daerah pemilihan Admiralty dari Kelompok Perwakilan Konstituen Sembawang. Untuk memelihara dukungan warga, maka ia harus bekerja keras. Apalagi para pemilih di Singapura sudah rasional dan berasal dari latar yang multikultur dan multirasial.

Justus mengaku jika seluruh relawan yang terlibat dalam MPS tidak dibayar satu senpun. Namun, bukan berarti jerih payah Justus dan rekan-rekan akan berakhir sia-sia. Semua yang dilakukannya akan diganjar kompensasi berupa kondite untuk meningkatkan karir politiknya di PAP. Itu sebabnya, kegiatan ini tidak pernah kekurangan tenaga relawan.

Banyaknya bantuan relawan ternyata tidak membuat Maliki, sang anggota parlemen, hanya ongkang-ongkang kaki. Saat bertemu rakyat, ia harus mampu menjadi guru, bapak, sahabat, atau bahkan kepala lingkungan. Selain menjadi motivator, Maliki juga harus pandai menjadi mediator, jika terjadi masalah pelik antara warga dengan suatu institusi.

Seperti saat itu, seorang ibu berusia sekitar 50 tahun dari etnis Tionghoa datang mengadu kepadanya. Sambil menunjukkan sebuah surat peringatan dari pihak bank, ia bercerita jika sudah dua bulan terakhir ini tidak mampu membayar cicilan kredit rumah tokonya pada sebuah bank. Kondisi itu terjadi, akibat sang suami sedang sakit keras sehingga memperkecil penghasilan dan memperbesar pengeluaran. Setelah proses tanya jawab dan hitung-hitungan, yang semuanya dilakukan dalam bahasa Mandarin dan sedikit bahasa Inggris, karena hanya bahasa itu yang dikuasai wanita tadi, selama sekitar lima belas menit, Maliki menyarankan kepada wanita itu untuk menemui pihak bank secara langsung agar mendapatkan keringanan. Sambil tersenyum, ibu itu mengangguk setuju dengan jalan keluar yang disampaikan Maliki. “Jika belum selesai, datanglah kemari seminggu lagi,” kata Dr Maliki yang menguasai tiga bahasa: bahasa Inggris, Melayu dan Mandarin.

Selesai dengan ibu tadi. Giliran seorang perempuan muda dari etnis Melayu mendatanginya dengan wajah sendu. Ia dan empat orang saudaranya yang masih sekolah sudah menumpuk tagihan listrik, gas dan telpon selama dua bulan. "Suami saya di Johor (Malaysia, red.). Sudah empat bulan ini, ia tidak mengirim uang. Katanya, usahanya mau bangkrut." Sementara, kedua orang tua sudah lama tiada. "Kalau untuk memenuhi kebutuhan saja, saya masih bisa. Tapi, kalau untuk membayar seluruh tagihan, jelas tidak bisa," tambahnya. Memecahkan persoalan seperti itu, Maliki bertanya berapa uang yang bisa didapatkan perempuan itu dalam sebulan dan jumlah pengeluaran yang harus dibayar. Setelah proses hitung-menghitung selesai, Maliki berkesimpulan: "Untuk menunjukkan kalau kamu punya niat baik membayar tagihan, cobalah menekan pengeluaran bulanan. Jika ada sisa simpanlah untuk membayar jumlah tagihan yang belum terbayar. Itu untuk menunjukkan jika kamu punya niat baik untuk membayar." Sempat berdebat sebentar, namun perempuan tadi akhirnya setuju dengan jalan keluar itu.

Dalam beberapa kasus, jika warga yang datang kepadanya membutuhkan obat atau makanan dengan segera, maka Maliki akan mengeluarkan voucher yang selembarnya bernilai sepuluh dolar Singapura (atau setara dengan tujuh puluh ribu rupiah). Untuk menghindari pemberian bantuan yang salah sasaran, relawan yang bertugas akan mendatangi rumah warga. “Voucher juga tidak boleh dipergunakan untuk membeli rokok dan minuman beralkohol," tegas Maliki. Maliki memang harus berhati-hati dalam mengeluarkan voucher. Itu sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada si pemberi voucher. “Voucher ini didapat dari perusahan swasta yang menyelenggarakan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, red.).”

Ketika perbincangan berlangsung, tanpa sadar tumpukan kartu biru di mejanya mulai menebal. Itu artinya antrian warga yang harus dilayaninya sudah semakin bertambah. Dr Maliki mengisyaratkan untuk segera bekerja lagi, mungkin hingga pukul satu dinihari.

ahmad s
(tulisan ini juga dimuat pada Majalah Elshinta edisi Agustus 2008)

1 comment:

Amar Ramdani said...

wuah kalo ditiru di Indonesia,,bisa2 antrian nya panjang mpe 5 KM, trs rusuh, eh ada korban, dan yang pasti ditutup ma polisi pak ahmad..hehe